Opini – Tulisan ini berawal dari pertanyaan dan jawaban yang sok tahu dan menjadi tahu, bukan dari keinginan. Dan bukan berawal dari tahu dan tempe. Karena tempe tidak tepat atau cocok menganalogikan sebuah bangsa. Pada waktu malam hari tepat pukul ½ malam waktu Indonesia tenggara bagian timur di hari senin, saya bersama teman saya berinisial NR, seorang teman yang saban hari saya sebut teman rasa saudara. Ingat sekali lagi saudara bukan saudagar.
Kami berdua naik motor yamaha jupiter mx king untuk jalan-jalan di malam hari dengan maksud dan tujuan untuk membeli sebungkus kopi pabrikan alias sebungkus kopi yang sudah diproses untuk siap dimasak dengan air dan disiap dikonsumsi kedalam perut. Sebungkus kopi itu adalah kopi kapal api.
Dalam perjalan mengendari motor, setelah kembali membeli sebungkus kopi kapal api, teman saya yang rasa saudara itu bertanya kepada saya, karena nama saya sering disapa cius, walaupun nama lengkap bukan itu, “cius, apa itu istilah tikus kantor?” setelah mendengar pertanyaan dari teman saya itu, seketika saya pun terdiam sebelum menjawab, masih dalam perjalan kembali kami berdua dari membeli kopi kapal api. Masih suasana mengendarai motor, dengan sok tahu, saya pun menjawab “untuk menjawab pertanyaan itu, perlu ada kajian filosofi, historis, dan yuridis”. Hahahhaha !!! sedikit aneh, namun hal itu dianggap kami berdua adalah hal yang perlu untuk diketahui.
Dari membeli sebungkus kopi kapal api, tadi, Alhamdullah kami berdua pun tiba di sekretariat organisasi kemahasiswaan. Namun, setelah pertanyaan dan jawaban itu, tidak ada lagi penjelasan berikutnya pada malam hari di hari senin itu juga, hanya istilah-istilah yang saya sebut sebelumnya.
Saya pernah membaca sebuah artikel yang menurut saya menarik untuk dibaca tentang sejarah ushul fiqh. Namun dalam tulisan ini saya tidak menjelaskan bagaimana sejarah ushul fiqh. Namun ada sebuah kalimat dalam tulisan artikel tentang ushul fiqh, yang menyebabkan saya sedikit lama merenung, bingini kalimatnya “istilah itu bukan ilmu, tapi apa yang dimaksud istilah itu.” Sehingga istilah itu di sini ialah tikus kantor.
Sebagaimana yang saya tulis sebelumnya bahwa tulisan ini berawal dari pertanyaan dan jawaban yang sok tahu dan menjadi tahu. Hahahaha !!! namun dengan ucapan Alhamdulillah dari pertanyaan itu membuat jiwa saya terpanggil untuk membaca maksud kenapa ada istilah tikus kantor, itu. Iya harus membaca terlebih dahulu sebelum berbicara atau menulis, membaca itu wajib sebagaimana firman Allah “Iqro” yang artinya “bacalah.”
Jika sedikit ditulusuri istilah ini maka kita dapat menemukan dalam sebuah lagu dari seorang penyanyi legendaris berkebangsaan Indonesia bernama Iwan Fals “Tikus-Tikus Kantor”, hahahaha maaf! Sedikit berseni politik. Tetapi memang istilah ini dimaksudkan kepada kejahatan para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum melalui sistem demokrasi berdasarkan pembukaan UUD 1945.Namun jauh sebelum istilah Tikus Kantor, itu menjadi sebuah seni lirik lagu, sudah terdapat dalam sebuah buku dari seorang penulis melayu berkebangsaan indonesia ialah adalah Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf Modern”.
Menarik untuk dibaca sebab buku tersebut, menguraikan maksud istilah Tikus sebagaimana seorang pencuri. “keinginan adalah awal dari penderitaan”. Sekali lagi keinginan.
Pada halaman 239, Buya Hamka menulis dalam bukunya Harta Baik dan Harta Buruk. Setelah saya menelaah dengan sangat hati-hati pada kata dan kalimat yang ditulis Buya Hamka, akhirnya saya menemukan dua kata dalam satu kalimat yang ditulis oleh Buya Hamka pada halaman 242 dalam bukunya yakni laksana tikus. Dua kata ini mengiatkan saya untuk kembali sebelumnya dengan pertanyaan dari teman saya yang rasa saudara itu.
Begini penjelasan lengkap dari laksana tikus. Pandai sekali nenek-moyang memilih perkataan “sau-dagar” bagi orang yang pintar berjual-beli, sebab “su” artinya seribu, dan “dagar” artinya tipu. Sebagaimana “sau-dara” artinya seribu cinta. Kecintaan kepada harta sehingga sampai menyembah harta, telah menimbulkan agama sendiri, di luar dari agama Islam dan Kristen, di luar dari agama Brahmana dan Budha, yaitu agama yang di wahyukan oleh harta itu sendiri, mana yang halal kata harta, walaupun haram kata agama, diikut juga orang wahyu harta, larangan harta itu juga yang dihentikan orang. (halaman 242).
Terbaliklah aturan masyarakat lantaran harta, puji dan sanjung bisa dibeli dengan harta. Orang junjung tinggi seorang berharta lantaran hartannya, meskipun dia seorang pencuri halus, laksana tikus mencuri daging tumit orang yang tidur nyenyak tengah malam. Dihembusnya supaya dingin, kemudia digigitnya, setelah terasa pedih oleh orang yang tidur itu, digosoknya dengan lidahnya dan dihembusnya pula, sehingga hilang pedih karena dihembus. Setelah orang yang dikena gigit itu bangun pagi-pagi, dan dicobakannya menginjakkan kakinya ke tanah, barulah dia tahu bahwa dia kecurian. Di balik itu, orang kaya budi, miskin uang, tidak ada harganya dalama masyarakat. (halaman 242).
Setelah menelaah dengan sangat hati-hati hasil bacaan, maka seketika saya pun merenung dan bertanya apakah laksana tikus itu merupakan tikus kantor yang diistilahkan kepada kejahatan pejabat para wakil rakyat di negeri ini. Apakah laksana tikus itu banyak di Kepulauan Sula. Maka Haqul Yakin pasti saudara sebagai pembaca yang budiman mengerti-mengetahuinya. Imam Abu Ali Ad Daqqooq An Naisaburi Asy Syafi’i berkata:
الساكت عن الحق شيطان أخرس، والناطق بالباطل شيطان ناطق
“Orang yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah Syaithon Akhros (yakni setan yg bisu dari jenis manusia). Dan orang yang menyampaikan kebathilan ia adalah setan yang berbicara” (Disebutkan oleh imam An-Nawawi di dlm Syarah Shohih Muslim).
Pesan dari penulis buku “membaca buku yang baik berarti memberikan makanan rohani yang baik, dan bahagia itu dekat dengan diri kita ada di dalam diri kita”. Semoga bahagia! Jangan lupa senyum.
Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).