KILAS BALIK PERUBAHAN MODEL PEMILU SERENTAK

OPINI – Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan memisahkan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan Pemilu daerah atau lokal. Putusan ini diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Kamis 26 Juni 2024 di ruang Sidang Pleno MK. Pemilu nasional meliputi jenis Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu daerah meliputi Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota serta Pemilihan Gubernur -Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati serta Walikota-Wakil Walikota. Dalam putusan MK tersebut kedua Pemilu ini dipisah dalam jeda dua tahun.

Gugatan tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang di register MK dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024 tanggal 4 Oktober 2024. Perludem mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Perludem menilai Pemilu Serentak dengan lima kotak suara melemahkan pelembagaan Partai Politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat. Lebih lanjut menurut Perludem, pelaksanaan Pemilu lima kotak membuat Partai Politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik dalam pencalonan legislatif tiga level (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota) sekaligus. Sesuai alasan-alasan yang diajukan tersebut, Perludem meminta Mahkamah agar Pemilu dipisah menjadi Pemilu Nasional untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden serta Pemilu Daerah untuk memilih Anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan kepala daerah. Perludem juga meminta ada jeda 2 tahun antara kedua Pemilu.

Setelah putusan MK diberitakan di sejumlah media nasional terutama melalui platform media sosial, publik pun bertanya-tanya, persoalan apa yang menyebabkan model Pemilu serentak nasional dan daerah ini berubah dari penyelenggaraan Pemilu sebelumnya. Tulisan ini bermaksud melakukan flashback mengenai latar belakang perubahan model Pemilu serentak berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Dalam proses sejarah demokrasi elektoral Indonesia, terjadi perubahan signifikan pasca jatuhnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998 yang menghembuskan semangat reformasi disegala lini kehidupan, khususnya reformasi politik secara besar-besaran merubah semua struktur politik kearah lebih liberal. Pemilu 1999 digelar sebagai pemilu pertama pascareformasi diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem dan mekanisme pemilu persis sama seperti pemilu di era sebelumnya. Parlemen hasil pemilu 1999 kemudian melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak empat tahap membentuk demokrasi Indonesia yang terus melangkah dari era transisi menuju konsolidasi. Hasil amandemen konstitusi tersebut melahirkan tiga ketentuan penting yaitu presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, pembentukan lembaga representasi baru mewakili daerah yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwakilan setiap daerah provinsi di parlemen, serta pemilihan kepala daerah langsung.

Penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden pada Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 dilaksanakan secara terpisah. Hal ini dianggap tidak konstitusional. Efendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat Menggugat kemudian melakukan aksi menggugat UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terhadap gugatan tersebut kemudian keluarlah putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah Konstitusi, memisahkan pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah inkonstitusional. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam keserentakan Pileg dan Pilpres ini memiliki tiga alasan yaitu, efisiensi anggaran, penguatan sistem presidensial, dan original intent. Putusan MK ini menjadi dasar yang menetapkan kebijakan tentang pemilihan umum serentak dan mulai dilaksanakan pada Pemilu 2019.

DPR dan Pemerintah sebegai pembentuk undang-undang juga menyetujui hasil putusan MK tersebut dengan alasan logis efisiensi dari sisi anggaran dan waktu ketika Pemilu presiden dan Pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak pada waktu yang sama. Selain itu, pencalonan presiden tidak akan tersandra oleh koalisi partai partai politik dalam dukungan pada saat pencalonan. Skema pemilu serentak akan memperkuat skem sistem presidensial yang merupakan amanat konstitusi. Dengan kata lain, skema pemilu serentak membuat proses politik dalam kandidasi pilpres bersih dari lobi-lobi dan negosiasi politik dari partai-partai politik hanya untuk kepentingan sesaat.

Putusan MK 14/2013 kemudian di undangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, sehingga Pemilu DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada tanggal 17 April 2019 dilaksanakan secara serentak. Pada pelaksanaannya terdapat beberapa masalah yang menonjol berupa munculnya kompleksitas secara teknis manajemen di lapangan. Para analis kepemiluan menemukan sejumlah persoalan pada keserentakan Pemilu 2019 dari sisi sistemik dan manajemen operasional, kemudian mengemukakan opsi-opsi perbaikan untuk Pemilu 2024.

Penyelenggaraan Pemilu 2024, model Pemilu serentak lima kotak relatif sama dengan Pemilu 2019 karena masih mendasarkan pada regulasi yang sama yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, namun KPU sebagai pelaksana teknis penyelenggaraan Pemilu telah melakukan inovasi pada sejumlah tahapan terutama penyederhanaan administrasi hasil pemilu di TPS dan penggunaan tenknologi informasi seperti Sirekap. Pelaksanaan Pemilu lima kotak tahun 2024 juga tidak luput dari persoalan dalam setiap tahapannya, bahkan beberapa hal yang menjadi tujuan dilaksanakan Pemilu serentak belum tercapai, sehingga perubahan model keserentakan berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah model Pemilu serentak yang telah di putuskan MK.

Putusan MK mengenai pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah sebenarnya bukan isu baru. MK dalam salah satu putusannya memberi pembuat undang-undang untuk memilih sejumlah opsi model Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak lokal. Ketentuan itu terdapat dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diputuskan pada 26 Februari 2020, yang digugat Perludem mengenai format Pemilu nasional dan Pemilu daerah. MK dalam putusan tersebut mengajukan 6 (enam) model atau skema Pemilu serantak. Pertama, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilu serentak semacam ini disebut pemilu lima kotak seperti pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Kedua, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati-Walikota. Ketiga, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Pemilu serentak semacam ini disebut Pemilu serentak tujuh kotak. Keempat, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota. Kelima, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Keenam, Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden.

Menurut Didik Supriyanto, alternatif pada point keempat setidaknya tidak membuat pemilih bingung, tidak memberatkan penyelenggara pemilu dan membikin bergema kampanye partai politik pasangan calon eksekutif maupun calon legislatif. Juga memperkuat sistem presidensial ditingkat nasional dan lokal (Supriyanto, 2020). Alternatif keempat dianggap pilihan yang sesuai bagi proses elektoral berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Namun, secara teknis manajerial kemungkinan masih terdapat problem teknis manajerial terutama pada Pemilu daerah.

Sebenarnya, geliat pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah telah digaungkan oleh analis dan praktisi pemilu. Khoirunnisa Nur Agustyati (editor) dalam Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem ke Manajemen Pemilu, menegaskan bahwa salah satu model yang yang paling relevan dan mendekati kebutuhan adalah model Pemilu serentak nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR dan DPD kemudian Pemilu serentak lokal dengan memilih kepada daerah serta memilih DPRD. Selanjutnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menawarkan tiga opsi keserentakan Pemilu 2029 (Bingkai Nasional, 9/5/2025). Opsi pertama tetap sama seperti Pemilu dan Pilkada tahun 2024 kemarin. Opsi kedua pemisahan Pemilu Nasional DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden kemudian selang tahun berikutnya pelaksanaan Pemilu Lokal memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur dan Bupati/Walikota pada tahun 2030 atau tahun 2031. Opsi ketiga, pelaksanaan Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak dengan jeda waktu tidak seperti pada pelaksanaan tahun 2024 kemarin. Menurut Bagja, varian kedua dan ketiga perlu dipertimbangkan. Pernyataan analis dan praktisi pemilu diatas menegaskan bahwa pilihan yang telah di tetapkan sebagaiman putusan MK mengenai pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal dianggap sebagai pilihan yang tepat.

Perubahan format keserentakan berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah ini pastinya harus memiliki payung hukum, maka dalam waktu dekat sebelum pelaksanaan tahapan pemilu sudah dilakukan revisi Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Pilkada. Sebagaimana diberitakan, Komisi II DPR RI akan memulai pembahasan mengenai revisi UU Pemilu dimulai tahun 2026 (Detik News, 8/5/2025). Menurut MK, memisahkan keserentakan Pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden dengan Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, serta walikota-wakil walikota adalah konstitusional. Hal ini untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas, memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih.

Sebagaimana dilansir dari website MK, berikut sejumlah asumsi pokok dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 dalam sidang Putusan pada Kamis (26/6/2025). Pertama, menenggelamkan masalah pembangunan daerah, dalam hal Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal yang diselenggarakan dalam waktu berdekatan menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serta pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.

Kedua, pelemahan pelembagaan Partai Politik. Pemilu lima kotak seperti pada pemilu 2024 berimplikasi pada kemampuan partai politik dalam mempersiapkan kader partai dalam kontestasi pemilu, sehingga partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme di banding menjaga idealisme dan ideologi partai politik. Selain itu, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilu legislatif secara bersamaan antara pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sekaligus menyiapkan kader untuk kontentasi pemilu presiden-wakil presiden membuat proses kandidasi penuh transaksional. Partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral semata.

Ketiga, kualitas penyelenggaraan pemilu. Pemilu lima kotak (DPR, DPD, Presiden, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota) yang dilaksanakan berdekatan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagaimana pada tahun 2024, menyebabkan terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum. Selain itu, Pemilu Nasional dan Lokal yang dilaksanakan pada waktu yang sama menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu.

Keempat, pemilih jenuh dan tidak fokus. Pemilu Nasional dan Lokal yang dilaksanakan berdekatan berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum. Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dengan waktu yang tersedia sangat terbatas seperti pada Pemilu Lima kotak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Kelima, waktu penyelenggaraan Pemilu. Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dilaksankan pemungutan suara untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota. Keenam, pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan baik masa jabatan DPRD hasil pemilu 14 Februari 2024 dan masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan 27 November 2024, penentuan dan perumusan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yakni DPR RI.

Model Pemilu nasional dan Pemilu lokal sebagaimana alternatif yang telah ditetapkan jika dilihat dari sejumlah tesis MK diatas belum secara spesifik mempertimbangkan aspek teknis manajerial pada penyelenggara pemilu serta bagaimana pengaruhnya bagi pemilih. Pilihan alternatif ini tidak menutup kemungkinan akan melahirkan kompleksitas baru sebagaimana pemilu sebelumnya, sehingga perlu dilakukan kajian secara mendalam terutama dampak pada aspek sistemik dan tata kelola pemilu.

Oleh: Abidin Mantoti

Jubir Pemda Sula Diharapkan Tidak Bermain-main Dengan Hak Puluhan Dokter

OPINI – Di zaman digital, menjaga nalar adalah jihad intelektual.” (Ahmad Syafii Ma’arif).

Dokter adalah profesi seseorang dengan keahlian khusus di bidang kedokteran. Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah profesi seseorang yang bekerja di instansi pemerintah.

RSUD Sanana adalah institusi pelayanan kesehatan yang dimiliki dan dioperasikan oleh instansi pemerintah daerah Kepulauan Sula. Insentif dokter adalah bentuk penghargaan terhadap profesi dan keahlian seseorang bukan bentuk gaji pokok ASN.

Jadi, insentif dokter dan gaji pokok ASN adalah dual hal berbeda. Karena insentif dokter ini bersifat hak sedangkan gaji pokok ASN bersifat wajib. Perbedaan inilah yang harus dilihat secara jernih oleh Jubir Pemda Kepulauan Sula sebelum buat keterangan ke publik.

Karena keterangan Jubir Pemda Kepulauan Sula itu seolah-olah membenturkan tuntutan 32 orang dokter yang berstatus ASN di Rumah Sakit Umum Daerah terhadap insentif mereka dari bulan Januari-Mei 2025 dengan dua sistem ini Asben dan E-Kinerja ASN atas nama keluhan warga terhadap kehadiran dan kinerja dokter, sehingga menjadi pertanyaan adalah apakah keterangan Jubir Pemda Kepulauan Sula ini adalah bentuk bermain-main dengan tuntutan 32 orang dokter terhadap insentif mereka bersifat hak kepada Pemda Kepulauan Sula.

Kita semua tahu, bahwa ASBen (Absensi Elektronik) dan e-Kinerja ini merupakan dua sistem yang digunakan oleh pemerintah untuk mengelola dan mengukur kinerja ASN (Aparatur Sipil Negara). ASBen digunakan untuk mencatat kehadiran ASN, sedangkan e-Kinerja digunakan untuk melakukan penilaian kinerja ASN berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja.

Ada pun jika klaim Jubir Pemda Kepulauan Sula adalah ada keluhan warga Sula, jadi mengenai kinerja dokter seharusnya klaim tersebut harus berbasis data, agar tidak menimbulkan asumsi liar dari publik, Sehingga diharapkan kepada Juru bicara Pemerintah Daerah, Kadis Kominfo Kabupaten Kepulauan Sula Barkah Soamole ini melihat secara jernih persoalan insentif 32 orang dokter tersebut.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo, Alumni Universitas Muhammadiyah Kendari.

Redaktur: TIM

Kondisi Ekonomi Negeri Hai Sua Atas Tindakan Pemimpin Daerah! Sebuah Imperatif Batin

Opini – “setipa yang bernama hati, harusnya merasa. Jika memang bukan batu.”

Hubungan antar koalisi partai politik merupakan hubungan kepentingan dalam merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan untuk mendapatkan sumber daya ekonomi.

Meskipun dilakukan juga dengan mengorbankan sumber daya ekonomi untuk meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya demi mencapai standar kemenangan menurut prosedur demokrasi.

Suara terbanyak adalah pemenangnya. Untuk mencapai standar kemenangan, koalisi partai politik melakukan segala cara (taktik) agar rakyat tertarik memilih calon yang dicalonkan. Cara yang paling umum dilakukan adalah mengumbar janji-janji melalui kampanye visi-misi sebagai program yang akan dibuat jika terpilih.

Namun kenyataanya jauh dari harapan, Sebab untuk mewujudkan program tersebut, diperlukan ketersediaan APBN dan APBD. Dan itu, tidak mudah dilakukan. Sebab, APBN dan APBD tidak dapat dipisahkan dari bagaimana kinerja produksi dan konsumsi perekonomian masyarakat.

Untuk mendorong kinerja produksi dan konsumsi perekonomian masyarakat, diperlukan dukungan sarana dan prasarana fisik dan nonfisik berbasis sektor yang sesuai dengan kebutuhan kategori masyarakat.

Penjelasan tersebut menunjukkan diperlukan keterampilan pemerintah dalam mengelola keterbatasan anggaran APBN dan APBD untuk merealisasikan program-program yang dijanjikan kepada masyarakat saat kampanye.

Cara yang umum di saat anggaran APBN atau APBD terbatas yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan pengaturan pungutan pajak lebih besar dari pungutan pajak sebelumnya, atau mendatang utang pinjaman modal untuk dapat mencukupi keterbatasan APBN dan APBD.

Tentu saja, dengan cara seperti itu, dapat memberatkan masyarakat dan dapat pula memberatkan pemerintah. Dan di mana-mana setiap utang pinjaman modal pemerintah selalu mengorbankan agunan.

Agunan tersebut dapat berupa agunan sumber daya alam atau aset berharga lainnya yang bernilai ekonomi.Banyak pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang terjebak dalam utang pinjaman modal.

Bahkan dalam jeratan utang tersebut, pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak hanya dituntut untuk membayar pokok utang tetapi juga membayar bunga atas pokok utang tersebut kepada pemberi pinjaman modal.

Hal ini membuktikan kepada kita (rakyat) bahwa visi-misi sebagai program kampanye pada masing-masing calon kepala negara, kepala daerah, dan wakil rakyat dalam pemilu demokratis tidak menjamin 100% terwujud dan dapat rasakan masyarakat secara konkrit.

Sebab, batas ambisi kekuasaan politik adalah APBN dan APBD. Dan untuk mewujudkan ambisi tersebut, caranya adalah dengan berutang, menaikkan pungutan pajak, atau yang saat ini dilakukan adalah efisiensi APBN dan APBD.

Dengan adanya efisien APBN dan APBD itu berdampak pada pengurangan porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur fisik dan nonfisik untuk mendukung kinerja pemerintah produksi dan konsumsi perekonomian masyarakat.

Inilah anomali pembangunan di tengah tekanan ekonomi masyarakat.Di tengah tekanan ekonomi masyarakat tersebut, pemerintah daerah di kepulauan sula justru melakukan tindakan yang jauh pagang dari api dalam 100 hari kerja pemerintah daerah pasca terpilih sebagai bupati kepulauan sula.

Secara sosial, pendapatan ekonomi yang rendah dapat memicu konflik horizontal di tengah tekanan kebutuhan harga ekonomi yang semakin mahal. Kondisi ini akan menurunkan kinerja ekonomi daerah dan dapat mempengaruhi stabilitas kinerja pemerintahan.

Namun, pada kondisi yang sama, kinerja pemerintahan juga menjadi penyebab pendapatan ekonomi yang rendah dan harga ekonomi yang semakin mahal, sehingga dapat memicu tidak hanya konflik horizontal tetapi juga vertikal antara masyarakat dan pemerintah.

Dan rata-rata masyarakat yang berkonflik cuma terbaca antara sesama masyarakat dan bahkan antara masyarakat dan pemerintah akibat pendapatan ekonomi yang rendah di tengah tekanan kebutuhan ekonomi yang semakin mahal.

Jangan lupa, kondisi korupsi juga dapat memperparah dua kondisi itu, sehingga berakibat melambatnya kinerja ekonomi daerah.

Bagaimana kinerja Kejari dan Kapolres dalam penanganan laporan-laporan kasus korupsi, tanggalkan pertanyaan sangat lambat dan sangat tidak jelas kepastian keadilannya.

Kondisi lapangan pekerjaan formal terbatas dan harga barang dan jasa yang semakin mahal, dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Kondisi ini juga penyebab kebanyakan masyarakat keluar daerah, untuk kerja di daerah lain.

Di dalam kondisi-kondisi itu, masyarakat justru dipertontonkan dengan tindakan cawe-cawe Bupati Sula di Desa PSU Pilkada Taliabu, yang berkunjung pelaporan masyarakat ke Bawaslu Taliabu tertanggal 24 Maret 2025 dengan nomor : 059/PP/00.02/K.MU-08/03/2025 sehingga telah diregistrasi dengan nomor: 001/REG/LP/PB/kab.33.10/III.2025.

Sebagaimana terlampir;

https://haliyora.id/2025/03/26/siasat-kuda-troya-bupati-fifian-mus-di-pilkada-taliabu-diduga-mobilisasi-warga-ke-desa-psu/3/

Bukan mengurus kondisi-kondisi daerah yang dipimpinnya dalam 100 hari kerja yang bermakna positif, tapi malah bertindak melawan aturan yang menyebabkan kegaduhan masyarakat kepulauan sula.

Menurut saya, tindakan pemerintah itu merupakan sumber terbelah dan konflik antara masyarakat yang ditandai latar belakang pemilihan pemimpin kepala daerah yang tidak patuh aturan dan tidak bermoral.

Itulah kondisi-kondisi daerah kita yang bernama kepulauan sula yang kita cintai. Semoga di bulan yang suci ini Bupati Sula kembali fitrah dan terang hatinya untuk melihat bahwa kondisi-kondisi negeri hai sua tidak sedang baik-baik saja di tangan kepemimpinannya. Semoga bahagia!

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Alumni Universitas Muhammadiyah Kendari).

Desentralisasi Fiskal Masih Mengkoyak Sula Selama 20 Tahun

OPINI – Masalah umum yang biasa muncul dari pelaksanaan desentralisasi otonomi daerah terutama menyangkut dilema antara stabilitas pendanaan fiskal dari pusat ke daerah. Dilema dalam pelaksanaan desentralisasi otonomi daerah terjadi terutama yang berkaitan dengan permintaan pelayanan publik dasar. Meskipun tetap bisa dilaksanakan dan ditingkatkan kualitasnya, namun pada prakteknya cukup sulit untuk dipenuhi. Hal ini lebih disebabkan bahwa pelaksanaan desentralisasi otonomi daerah bermakna bertambahnya beban kewajiban pemerintah daerah.

Bertambahnya beban kewajiban pemerintah daerah pada desentralisasi otonomi daerah Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara yang berjalan selama 20 tahun, merubah penyelenggara kebijakan kinerja pemerintah Kab. Kep. Sula yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal sesuai Peraturan Presiden No. 63 tahun 2020 dan juga tergolong daerah dengan kemiskinan ekstrem.

Kabupaten Kepulauan Sula Dalam Angka 2023, pada 2019 pertumbuhan ekonomi mencapai 6,15 persen, dihantam pedemi Covid-19 sehingga pada 2020 pertumbuhan ekonomi menurun 0,10 persen. Pada tahun 2021 pertumbuhan ekonomi naik perlahan 1,29 persen, pada tahun 2022 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan 3,50 persen. Angka pertumbuhan ekonomi ini, dari Pendapatan Domestik Regional Bruto atas Dasar Harga Konstan. Sumber; BPS Sula.

Berdasarkan sumber terpecaya, pada 2021 Pemda dan DPRD Sula merancang APBD-P 2021 sebesar Rp 811, 21 miliar. Dalam rancangan anggaran tersebut terdapat rincian Belanja Operasional (BO) sebesar Rp 523,75 miliar, Belanja Modal (BM) sebesar Rp 123,53 miliar dan Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp 53,99 miliar. Pemda dan DPRD Sula, juga mengaggarkan penangan pendemi Covid-19 melalui APBD-P 2021 sebesar Rp 57,70 miliar, lebih besar dari anggaran sebelumnya sebesar Rp46 miliar. Terjadi penambahan nilai anggaran sebesar Rp 29,7 miliar. Ini khusus pencegahan dan penanganan pendemi Covid-19 dan program pemulihan ekonomi daerah sesuai PMK Nomor 17/PMK.07/2021. Item-item kegiatan penanganan dan pemulihan pendemi Covid-19 sebesar Rp 35,99 miliar bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), anggaran dukungan pemulihan ekonomi daerah sebesar Rp 15,56 miliar, dan perlindungan sosial sebesar Rp 1,20 miliar.

Artinya, nilai anggaran dari APBD induk sebesar Rp 838,19 miliar ke Perubahan APBD tahun 2021 turun sebesar Rp 26,98 miliar atau turun 3,22 persen, dan nilai anggaran pananganan pendemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi daerah naik sebesar Rp 110,45 miliar. Berdasarkan laporan halaman resmi kepusulakab.go.id (tahun 2023) “Arah Kebijakan pembangunan Kabupaten Kepulauan Sula ke depan masih diperhadapkan dengan keterbatasan pendanaan pembangunan, maka pemerintah berfokus pada upaya penanganan pemulihan ekonomi, masalah kesehatan dan perlindungan sosial. Hal ini sangat berdampak pada target capaian yang disiapkan dalam dokumen perencanaan lima tahun dan tahap pelaksanaan melalui rencana tahunan.”

Bila hingga kini, Pemda masih berfokus pada upaya penangan pemulihan ekonomi, masalah kesehatan dan perlindungan sosial, maka cukup terbukti Pemda belum berhasil memanajemenkontrol penggunaan anggaran Perubahan APBD tahun 2021.

Pada November 2022; Pemda dan DPRD Sula gelar paripurna Pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2023 ditargetkan Rp 855,56 miliar. Jumlah ini terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 27,70 miliar, Pendapatan Transfer (PT) ditargetkan Rp 806,68 miliar, Belanja Daerah (BD) ditargetkan Rp 885,56 miliar, yang terdiri dari Belanja Operasional (BO) Rp 571,89 miliar, Belanja Modal (BM) Rp 208,56 miliar, Belanja Tak Terduga (BTT) Rp 1,5 miliar, dan Belanja Transfer (BT) Rp 103,69 miliar. Sumber; media terpercaya.

Hal ini merupakan wujud dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 pemerintah daerah tentang pengelolaan teknis keuangan daerah, serta Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2023. Namun, besaran anggaran yang ditargetkan, terbaca dari sisi pendapatan daerah masih tergantung pada pendapatan transfer pemerintah pusat. Menurut Sir Paul Collier “Pembangunan ekonomi tanpa diikuti dengan pengembangan penguatan pranata kelembagaan politik itu akan menghadapi hambatan yang serius di masa-masa yang akan datang.” Untuk pembangunan ekonomi itu dibutuhkan secepatnya bentuk Raperda pengelolaan keuangan daerah.

Raperda Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pentingnya perda ini, karena perda ini akan menjadi perda induk dalam pembangunan daerah kepulauan sula yang menyambungkan benang merah proses pembangunan pulau sulabesi dan pulau mangoli, tentu dengan kajian secara komprehensif, adil dan merata. Sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran penting dimuat dalam perda ini, dengan mengakomodir dari berbagai perda-perda lain terkait dengan anggaran. Perda ini bisa menjadi landasan pengelolaan keuangan dan pembangunan daerah. Sebab, pasca pemekaran pulau Taliabu sebagai daerah otonomi baru. Terakhir, Perda Pengelolaan Keungan Daerah tahun 2008. Tapi, hingga kini kabupeten kepuluan sula belum lagi mengantongi Perda Pengelolaan Keuangan Daerah yang baru dan sah.

Gagasan Membangun Daerah ke Depan.

Jika Sir Paul Collier lebih pada “pengembangan penguatan pranata kelembagaan politik.” Maka menurut (Dwidjowijoto, 2003) dalam Reinventing Pembangunan mengemukakan bahwa “paradigma pembangunan harus berubah dari paradigma politik ke paradigma manajemen. Pembangunan hingga hari ini lebih banyak dipahami sebagai sebuah momen politis dan historis daripada momen manajemen. Karena pembangunan dipahami sebagai sebuah “isme-isme” daripada sebuah proses manajerial yang melibatkan optimalisasi pemanfatan aset-aset atau sumber daya yang tersedia. Perbedaan pokok antara paradigma politik dan paradigma manajemen terletak pada roh masingmasing. Dalam praktik, pembangunan dalam paradigma politik bermakna seperti yang kita lihat saat ini “ganti penguasa ganti peraturan”, karena peraturan sebagai bukti kekuasaan dan kekuasaan merupakan inti dari politik. Manajemen dalam bentuk paradigma melihat segala sesuatunya sebagai upaya untuk mengoptimalkan setiap aset yang ada, termasuk aset yang diberikan oleh manajemen sebelumnya. Jadi, roh manajemen adalah kontinuitas (kesinambungan, kelangsungan, kelanjutan, keadaan kontinu).”

Menurut saya, gagasan tentang sumber pendanaan pembangunan daerah di masa depan. Kemampuan manajemen yang harus dimiliki kepala daerah setelah transfer dana pemerintah pusat makin berkurang. Pertama, harus mampu menggali kebutuhan pembangunan daerahnya. Kedua, harus mampu menggali sumber-sumber pendanaan (APBD, APBN, dan kemitraan). Ketiga, harus mampu menggali pembiayaan dari pihak ketiga, khususnya investor. Selain perkuat pranata kelembagaan politik berjenjang.

Untuk mewujudkan empat kemampuan itu harus ada dukungan aparatur yang bersih dan profesional. Jika perlu, harus ada sanksi sesuai perundang-undangan tanpa pandang bulu, terkhusus pada kasus-kasus korupsi yang memperlambat pembangunan ekonomi Sula. Istilah “fiskal” berakar dari kata “fiscus” yang merupakan nama orang yang memegang kekuasaan atas keuangan pada zaman Romawi kuno.

Refleksi kritis jelang HUT ke-20 Sula, ini setidaknya menjadi pelecut untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan kesejahteraan bagi warga. Selamat ulang tahun Dad Hia Ted Sua!

Oleh: Faldi Ciu (Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).

Dukung Calon Kepala Daerah Yang Bertanggung Jawab Terhadap Alat Peraga Kampanye

OPINI – Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) adalah proses pemilihan umum di Indonesia yang bertujuan untuk memilih kepala daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota beserta wakilnya. Pilkada dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat di suatu daerah, dan bertujuan untuk memperkuat demokrasi dengan melibatkan masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka. Pemilihan umum di Indonesia adalah peristiwa demokrasi besar yang melibatkan partisipasi masyarakat dan penggunaan berbagai atribut Alat Peraga Kampanye (APK) seperti baliho, spanduk, kaos, stiker, dan brosur sebagai media promosi. Namun, setelah pemilu, limbah atribut kampanye sering kali tidak dikelola dengan baik sehingga dapat merusak estetika kota dan menciptakan kekacauan visual, mengakibatkan pencemaran lingkungan, merusak ekosistem, dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Jumlah sampah yang dihasilkan selama pergelaran pemilu di Indonesia pada tahun 2019 dan 2024 menjadi perhatian besar, terutama terkait atribut kampanye. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sekitar 3.658.902 spanduk dan baliho diproduksi selama periode pemilu. Ini mengakibatkan peningkatan volume sampah secara signifikan, dengan total perkiraan mencapai lebih dari 784 ribu meter kubik atau sekitar 392 ribu ton, sementara sampah spesifik dari atribut kampanye seperti baliho, spanduk, dan bendera diperkirakan lebih dari seperempat juta ton. Mayoritas atribut kampanye ini terbuat dari bahan plastik dan material non-biodegradable lainnya, di mana KLHK memperkirakan 70-80% di antaranya berakhir menjadi sampah, menghasilkan ratusan ribu ton sampah plastik yang sebagian besar tidak didaur ulang.

Menurut Greenpeace Indonesia, hanya sebagian kecil dari limbah atribut kampanye yang didaur ulang, sementara sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lingkungan, memperburuk polusi plastik di Indonesia. Kondisi ini menjadi alarm penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat, untuk lebih bijak dalam penggunaan atribut kampanye dan mengutamakan material yang lebih ramah lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2024 untuk pengelolaan sampah Pemilu 2024. Edaran ini meminta kepala daerah mengelola sampah pemilu secara khusus dan melarang pembuangan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) masih merupakan salah satu metode kampanye yang paling banyak digunakan oleh Peserta Pemilu 2024. Agar tidak mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengatur tempat yang boleh dan tidak boleh untuk dipasang APK dalam Pasal 70 PKPU Nomor 15 Tahun 2023, Tempat yang dilarang dipasang APK antara lain tempat ibadah, Rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan-jalan protocol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Sayangnya, pemasangan APK oleh Peserta Pemilu tahun 2024 masih banyak yang melanggar. Bahkan pemasangan APK di beberapa tempat menimbulkan korban jiwa.

Setiap kota atau daerah memiliki pesona dan keindahannya sendiri. Ada yang menawan dengan gedung-gedung tinggi, ada pula yang memikat hati dengan pemandangan alam yang asri dan ruang publik yang ramah. Jalan-jalan dihiasi dengan pepohonan rindang, taman-taman kota menjadi tempat warga berkumpul, dan bangunan-bangunan bersejarah seolah mengisahkan sejarah panjang kota tersebut.

Namun, keindahan ini sering kali tercemar oleh perilaku yang tidak bertanggung jawab, salah satunya dalam bentuk pelanggaran pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK). Banyak pihak yang memasang spanduk, baliho, dan poster kampanye di tempat-tempat yang tidak semestinya. Hal ini tidak hanya merusak estetika kota, tetapi juga menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan ruang publik.

Padahal, jika alat peraga kampanye ditempatkan secara tertib dan sesuai peraturan, keindahan kota tidak perlu terganggu. Setiap sudut kota bisa tetap asri dan rapi, menjadi cerminan dari peradaban warganya yang menghargai kebersihan dan keindahan bersama. Mari jaga keindahan kota kita, demi kenyamanan semua warga dan generasi mendatang yang akan menikmati hasilnya.

Sebagai pemilih yang cerdas, kita memiliki peran penting dalam menentukan masa depan daerah kita. Dalam setiap pemilihan, kita memiliki kesempatan besar untuk memilih pemimpin yang benar-benar peduli dan bertanggung jawab terhadap kepentingan publik, termasuk dalam aspek-aspek penting seperti Alat Peraga Kampanye (APK). APK bukan hanya sekadar media untuk memperkenalkan calon, tetapi juga cerminan dari sikap dan integritas calon tersebut terhadap aturan serta tata tertib umum.

Pemimpin yang bertanggung jawab adalah mereka yang memahami dan menghormati aturan terkait pemasangan APK. Mereka menempatkan APK dengan memperhatikan estetika dan lingkungan sekitar, serta tidak memasangnya di tempat-tempat yang dilarang atau mengganggu kenyamanan publik. Dengan memilih calon yang bertanggung jawab atas penggunaan APK, kita ikut mendukung terciptanya lingkungan yang tertib dan asri serta menegaskan bahwa aturan dibuat untuk kebaikan bersama.

Oleh karena itu, sebagai pemilih yang cerdas, mari kita pilih calon kepala daerah yang memegang teguh prinsip bertanggung jawab dan menghargai kepentingan umum. Pemimpin seperti inilah yang akan mampu menjaga kepercayaan masyarakat dan membawa perubahan positif bagi daerah kita. Ingat, pilihan kita akan menentukan masa depan daerah kita. Mari ciptakan lingkungan pemilu yang bersih dan tertib, mulai dari mendukung calon yang peduli dan bertanggung jawab.

Oleh: Rifai Salihi (Ketua Kebijakan Publik PD. KAMMI Kota Ambon)

Homo Economicus: Kesejahteraan Kantor Hakim

OPINI – Spesialisasi ilmu itu berkah, dan sekaligus peringatan akan keterbatasan nalar. Namun nalar memang punya kecenderungan menjadi pongah. Nalar tajam dan bisa mendalam, tetapi nalar juga mudah lupa batas dan mortalitas. Ini bukan sinis nalar, tapi perayaan atas batas ilmu.

Fakta: Ribuan Hakim Se-Indonesia Bakal Mogok Kerja, Protes Gaji dan Tunjangan 12 Tahun Tak Naik. Ini sebuah judul berita yang di kabarkan kompas.com pada 26 September 2024, 15:45 WIB. Fakta judul ini menarik penulis untuk telaah lebih dalam untuk mengetahui apa dibalik alasan adanya ribuan hakim bakal mogok kerja. Pertama; aturan mengenai gaji dan tunjangan jabatan hakim yang saat ini berlaku mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012. Kedua; Peratutran Pemerinntah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 didalilkan belum disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini karena ekonomi Indonesia terus mengalami inflasi year on year (yoy). Ketiga; gaji pokok jabatan hakim sama dengan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa, dan tunjangan jabatan hakim tidak berubah selama 12 tahun, mengakibatkan penghasilan jabatan hakim menurun drastis ketika pensiun padahal jabatan hakim lebih besar dibanding Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa.

Tata urutan itu menunjukan gaji dan tunjangan jabatan hakim tidak mencerminkan tanggung jawab dan beban kerja jabatan hakim sebagai penegak keadilan dalam tata pengadilan di Republik. Namun ketika di telaah lebih dalam ternyata yang menyebabkan alasan ribuan hakim bertindak karena kondisi ekonomi hakim. Untuk gaji dan tunjangan jabatan hakim sesuai kondisi ekonomi hakim atas tanggung jawab dan beban kerja jabatan hakim, revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.

Tulisan ini berfokus pada batasan homo economicus: atas kenaikan gaji dan tunjangan kantor hakim/jabatan hakim.

Homo Economicus

Melalui daya nalar yang selalu keruh, dengan mudah ditemukan kata Latin homo, yang berarti manusia/orang. Fisolog yang paling ahli pun mungkin tidak tahu tepat berapa ribu tahun silam kata Latin homo, itu mulai digunakan. Lalu kata Latin economicus disebut-sebut berasal dari kabut masa silam, meskipun cukup pasti turunan dari kata Yunani oikonomicus. Kata Yunani oikonomicus itu pernah dipakai filosof Yunani yang bernama Xenophon yang hidup sekitar tahun 430-354 SM, sebagai judul salah satu karya tulisnya, OIKONOMIKO∑. Kata oikonomicus di situ hanya berarti tata pengolahan ladang, dan menggarap ladang memang mata-pencaharian orang-orang biasa pada zaman itu di Yunani. Karya OIKONOMIKO∑ itu tertulis dalam format dialog Sokratik, berisi perbincangan imajiner antara Critobulus dan Sokrates. Di karya OIKONOMIKO∑ itu Sokrates terus kritis bertanya, sampai Critobulus mengerti dengan remang-remang bagaimana cara mengelola ladang agar menjadi sumberdaya yang memenuhi kebutuhan keluarga dan polis (Xenophon 1994). Mungkin dari remangremang itu dikenali akar pengertian ekonomi. Namun remang-remang itu tidak menerangi yang dimaksud homo economicus dalam akar pengertian ekonomi zaman ini. Tahun berganti abad, abad menggulung menjadi milenium.

Selanjutnya dalam lintasan sejarahnya orang pakai istilah homo economicus itu, peristiwa homo economicus seperti tinggal sebatang jarum yang terselip pada tumpukan jerami. Seorang yang bernama Joseph Scumpeter, raksasa sejarah pemikiran ekonomi, begitu sebutanya memberi isyarat bahwa homo economicus mungkin istilah yang diilhami ungkapan L’Economo prudente yang dipakai penulis Italia bernama B. Frigerio di tahun 1629 (Scumpeter 1954: 156). Akan tetapi, ilhami ungkapan itu juga lebih mungkin peranakkan makin banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Asal-muasal sejarah dan asal-usul logis adalah dua hal yang biasa berbeda.

Tapi sebenarnya homo economicus itu? Bagaimana homo economicus sebagai istilah yang berkembang dalam ilmu ekonomi? Sebelum itu, alkiasah, ungkapan homo economicus sering disebut berasal dari peletak dasar ilmu ekonomi modern yang bernama Adam Smith (1723-1790). Tetapi tidak satupun baris dalam halaman The Wealth of Nations (1776) karya Adam Smith menuliskan istilah itu. Ungkapan homo economicus juga rupanya disebut dari karya John Stuart Mill dalam Essays on Some Unsettled Questions of Political Economy (1844 [1836]). Tetapi tidak satupun esai dalam tulisan John Stuart Mill menuliskan istilah itu. Homo economicus juga biasa dikatakan baik oleh kaum terpelajar maupun awam, dalam perdebatan maupun gurauan. Tetapi bagaimana yang ditulis Adam Smith dan John Stuart Mill dalam karya besarnya itu;

“Bukan dari kebaikan hati pemotong daging, peramu minuman, atau tukang roti kita memperoleh makanan kita, tetapi dari rasa cinta diri mereka pada kepentingan diri mereka sendiri. Kita memenuhi kepentingan diri bukan dengan menggerakkkan rasa kemanusiaan mereka, tetapi rasa cinta-diri mereka; dan jangan pernah berbicara kepada mereka tentang kebutuhan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan diri mereka sendiri” (Smith 2000 [1776]: 15).

“Ekonomi-politik… tidak mengkaji seluruh kodrat manusia yang dimodifikasi oleh tata sosial, tidak juga membahas seluruh perilaku manusia dalam masyarakat. Ia berurusan dengan manusia semata-mata hanya jauh ia mahkluk yang berhasrat memiliki harta dan mampu menilai manjurnya sarana yang satu dibanding sarana lain dalam mengejar tujuan itu… [dengan] sepenuhnya menepiskan semua hasrat dan motif lain, kecuali… pengejaran kekayaan…” (Mill 1844 [1836]: 97).

John Stuart Mill tidak pernah menulis bahwa manusia hanyalah mahkluk “pengejar harta”. Mill sedang membatasi kajian ilmu ekonomi. Agar fokus kajian ilmu ekonomi tidak simpang-siur dan tumpang tindih, Mill juga batasi fokusnya pada pola tindakan manusia yang berbeda dari pola-pola tindakan yang menjadi fokus kajian ilmu hukum, sejarah, biologi atau sebagainya. Beginilah Mill menulis:

“Bukan karena ekonom-politik begitu tolol menganggap hakikat manusia sebagai benar-benar demikian [digerakkan hanya oleh nafsu mengejar harta], tapi karena itulah modus kinerja yang secara niscaya perlu ditempuh suatu ilmu… Mengenai perilaku-perilaku manusia di mana kekayaan bukan obyek pokoknya, Ekonomi-Politik tidak berlagak bahwa kajiannya dapat diterapkan. Namun memang ada urusan manusia di mana pencapaian kekayaan merupakan tujuan pokok dan diakui. Hanya dalam urusan inilah EkonomiPolitik menaruh perhatian. Cara yang perlu ditempuh Ekonomi-Politik adalah memperlakukan tujuan pokok itu seolah-olah sebagai satu-satunya tujuan… (Mill 1844 [1836]: 97, 98).

Tidak ada yang ganjil dengan yang ditulis Mill di atas. Rupanya arti oikonomicus sebagai “tata pengelolaan ladang bagi sumber penghidupan keluarga” dalam karya Xenophon hampir dua ribuh tahun berubah menjadi oconomicus dalam arti “tata kelola dan hasrat memiliki harta”. Terhadap rumusan itulah penulis John K. Ingram, misalnya, kritik pada tahun 1888 bahwa apa yang diajukan Mill “tidak menyangkut manusia-manusia riil tapi imajiner – ‘manusia-manusia ekonomi’… yang digagas hanya sebagai binatang-binatang pengejar uang” (dikutip dalam Persky 1995: 222).

Ketika istilah ekonomi-politik (political-economy) menciut menjadi ekonomika (economics) di akhir abad ke-19, dan dalam keruh perdebatan tentang gambaran kodrat manusia, ungkapan manusia ekonomi (economic man) rupanya dipakai raksasa ilmu ekonomi yang bernama Alferd Marshall, memakai istilah economic man dalam karyanya, Principles of Economics, yang terbit tahun 1890 (Marshall 1972 [1890]: 22).2 Homo economicus juga muncul dalam buku Vilfredo Pareto, pemikir Italia, Manuale di economia politica (1906).

Dalam arti tertentu, Mill hanya lebih lanjut menggarap pengertian implisit ekonomi yang diisyaratkan Adam Smith 60 tahun sebelumnya. Begini rupanya jejak kisahnya. Apa yang ditulis Mill di atas jelas menunjukan Mill tidak pernah berpendapat bahwa hakikat manusia adalah mahkluk yang digerakkan hanya oleh pengejaran harta. Namun dari situ pula benih salah-kaprah berkembang menjadi embrio kesesatan. Pada Adam Smith dalam suasana perdagangan yang penuh monopoli, dan di bawah pengaruh pola revolusi ilmu alam yang dibawa-serta oleh pemikiran Isaac Newton (bdk. Hetherington 1983). Smith mencari-cari cara menjelaskan kemakmuran bangsa-bangsa. Smith, juga mengajukan bagaimana masyarakat terbentuk dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Namun dalam urusan kemakmuran material, Smith memberi tekanan pada pentingnya perdagangan bebas antar orang-orang biasa. Kemakmuran tidak ditempuh dengan cara merampas secara paksa, tidak juga dengan mengemis atau beramal, tapi melalui pertukaran dan perdagangan yang menghasilkan dinamika akumulasi kekayaan. Rupanya Smith tidak menulis homo economicus, tapi pertukaran, perdagangan bebas dan akumalasi kekayaan yang penuh monopoli.

Bagaimana masyarakat terbentuk dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Seperti nelayan menangkap ikan, nelayan tentu tidak dapat hidup hanya dengan ikan. Nelayan butuh beras dari petani, pakaian dari penjahit, obat dari dokter, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya tanpa paksaan. Dari situ tercipta berlaksa-laksa pertukaran. Maka setiap manusia/orang kemudianpunya insentif untuk menumpuk barang/jasa yang dapat dipertukarkan. Syaratnya adalah barang yang dipertukarkan sebagai komoditas – artinya sesuatu untuk dijual-belikan. Lalu uang menjadi alat perantara jual-beli. Itu praktis, tapi tidak mengubah pola dasar jual-beli komoditas. Bahkan secara cepat uang dijadikan komoditas, persis seperti barang/jasa lain. Artinya fungsiasal uang kehilangan tujuanya. Silahkan ke bank meminjam uang, maka suka tidak suka diwajibkan untuk Anda membayar bunga pinjaman 10 atau 20 persen. Masing-masing pihak masuk dalam kepentingan diri (self-interest). Adam Smith menyebut dinamika emosional “saling masuk” dalam kepentingan orang lain itu sebagai simpati (sympaty) (Smith 2002 [1759]: 11).

Namun dari situ juga menjadi jelas bahwa self-interest (kepentingan diri) samasekali bukan satu organ tertutup di tengah samudra ketiadaan yang lain, tetapi beroperasi dalam jaring kepentingan-kepentingan lain. Tanpa “masuk” ke dalam kepentingan-diri orang lain, kepentingan diri sendiri tidak akan terpenuhi. Self-interest hanyalah istilah dengan arti mulia ini punya sejarah yang panjang dan pelik, bahkan para filosof Stoa bahas dua milenial lalu.Rupanya Smith mempelajari itu, dan memakainya untuk melukiskan dinamika perdagangan. Seperti dalam kutipan Smith di atas (Smith 2000 [1776]: 15). Ladang Xenophon yang melandasi istilah oikonomikos telah gusur hiruk-pikuk sejarah abad ke-18 dan abad ke-19, yang sibuk mengemban kelanjutan revolusi ilmiah, kemunculan kaum borjuis dan kapitalisme. Tak satupun noktah menunjukan Adam Smith pernah menulis dalam karyanya tentang manusia sebagai mahkluk yang digerakkan olek kepentingan-diri (self-interest). Bahkan Smith tidak berbicara mengenai kodrat manusia dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Tetapi Smith berbicara mengenai perdagangan bebas sebagai jalan menuju kemakmuran bangsa.

Tapi tindakan berdagang tidak dilakukan oleh benda tidak bergerak (batu/benda mati), melainkan oleh manusia. Di sini Smith berhadapan dengan teka-teki: siapakah manusia dalam perdagangan? Istilah kapitalisme juga tidak ada dalam barisan karya besarnya Adam Smith The Wealth of Nations. Istilah kapilisme awal muncul pertama kali dalam karya besarnya Karl Max Das Caoital, sebagai kritik karya besarnya Adam Smith The Wealth of Nations. Atau syarat antropologis apa supaya perdagangan menjadi mungkin dan berkembang?… Tata urutan terbentuk masyarakat dari karya Adam Smith di atas, juga tidak jauh beda dengan tata urutan terbentuk masyarakat yang ditulis Ibnu Khaldun dalam karya besarnya Muqadimah. Tetapi lebih beradab yang tulis Ibnu Khaldun dalam karya besarnya itu. Ibnu Khaldun tentu bukan penganut antropologis.

Sejak abad ke-14 sampai abad ke-19, para cerdik pandai di barat sibuk dengan pertanyaan tentang hakikat/kodrat manusia, tentang siapa sebenarnya manusia. Sebabnya para cerdik pandai di barat mesti menjelaskan perilaku manusia, dalam peristiwa perang maupun damai, dalam peristiwa perdagangan atau ketertundukan. Dalam bayang-bayang perang di Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) menulis teori politik dalam buku Leviathan (1651), dengan meletakkan bahwa kodrat manusia dalam kondisi asali adalah “serigala bagi sesamanya” (homo homini lupus) (Hobbes 1968 [1651]). Tentang eksistensi (tindakan/kegiatan riil manusia) yang ditulis oleh Thomas Hobbes, memunculkan pertanyaan tentang esensi (hakikat/kodrat manusia). Antropologis menemukan labirin gelap atas hakikat/kodrat manusia.

Seperti Anda menyaksikan di depan mata kepala Anda beberapa perampok dewasa membunuh anak-anak kecil. Melihat itu, denyut jantung Anda seperti berhenti, lalu bertanya dalam hati: siapa sesungguhnya hakikat manusia, hingga dengan keji perampok dewasa membunuh anak-anak kecil? Anda seperti menyimpulkan sendiri: hakikat manusia adalah mahkluk pembunuh. Atau suatu hari Anda menyaksikan suami-istri bertengkar kemudian berpisah. Namun suatu hari juga Anda menyaksikan suami-istri bertemu meminta maaf dan saling kembali. Anda terpana, lalu sebuah air sungai seperti mengalir di lorong jiwa-raga, hingga Anda bertanya pada diri Anda: siapakah hakikat manusia sehingga suami-istri mampu mengampuni? Lalu Anda menjawab sendiri bahwa hakikat manusia adalah mahkluk belas-kasih. Cuma, hanya dengan itu Anda menarik kesimpulan bahwa keseluruhan hakikat manusia adalah mahkluk pembunuh atau mahkluk belas-kasih, Anda tersesat.

Mirip seperti itulah teka-teki antropologis yang memburu Adam Smith. Dalam perdagangan yang tumbuh sangat pesat pada waktu itu. Rupanya Smith berimajinasi dengan pengandaian begini: andai saja orang-orang biasa bebas melakukan perdagangan! Smith bahkan punya istilah untuk orang-orang biasa, yaitu “pemotong daging, peramu minuman, dan tukang roti”. Istilah itu bertaburan dari awal sampai akhir dalam karya besarnya itu. Orang-orang biasa, itu adalah pahlawan Smith dalam merumus teori moral dan ekonomi-nya.

Terhadap teka-teki itu Smith menyimpulkan begini: perdagangan dan industri akan maju pesat apabila dalam kinerja perdagangan dan industri manusia bergerak atas dasar kepentingan-diri. Pokok inilah yang lalu diplintir ke sana ke mari untuk apa saja yang bahkan berkebalikan degan garis pemikiran Smith. Cukup menunjukan Smith tidak pernah menulis bahkan hakikat manusia adalah kepentingan-diri. Dengan kata lain, gagasan “manusia digerakkan oleh kepentingan diri” adalah persyarat antropologis yang diandaikan Smith agar metodologis Smith mampu menjelaskan gejala perdagangan bebas dalam kehidupan ekonomi. Dari situ juga muncul postulat ekonomi dalam proses berpikir. Disadari, itu hanya langkah biasa dalam proses berpikir. Tentu saja, keseluruhan hidup manusia, tidak hanya digerakkan oleh kepentingan-diri (self-interest). Tetapi dari situ juga bermula yang awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia kemudian berubah menjadi klaim tentang keseluruhan hakikat/kodrat manusia.

Sehingga tulisan ini sampai pada kerancuan yang terlibat dalam gagasan homo economicus: apa yang awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia, kemudian diperlakukan sebagai keseluruhan hakikat/kodrat manusia dan agenda bagaimana manusia dan masyarakat seharusnya menjadi. Rupanya terjadi pemahaman keruh jejak homo economicus. Pada 9 Maret 1976, dalam peringatan 200 tahun buku The Wealth of Nations karya Adam Smith, Ronald Coase, penerima Nobel Ekonomi 1991, merumuskan dengan tetap apa yang sudah terjadi: “…ilmu ekonomi selama dua ratus tahun terakhir tidak lebih dari mengepel, …para ekonom hanya mengisi celah, mengoreksi kekurangtepatan, dan mempercantik analisis The Wealth of Nations” (Coase 1994: 74).

Kesejahteraan Kantor Hakim

Benarkah kenaikan gaji dan tunjangan jabatan hakim akan berdampak pada terjaganya kualitas keadilan dalam tata peradilan di Republik. Apapun istilahnya, gaji dan tunjangan pada hakikatnya bentuk harga pada tata nilai uang itu sendiri. Maka, ukuran harga (price) terhadap kenaikan gaji dan tunjungan untuk kesejahteraan kantor hakim/jabatan hakim pada tata peradilan, seperti penyimpangan tanggung jawab dan kinerja jabatan hakim tegakkan kualitas keadilan dalam tata peradilan di Republik, dengan bersikap mogok kerja. Kenapa seperti penyimpangan? Karena berdasarkan fakta di atas: gaji dan tunjangan kantor hakim/jabatan hakim belum disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini karena ekonomi Indonesia terus mengalami inflasi year on year (yoy). Inflasi adalah perpajakan tanpa undang-undang (Milton Friedman (1912 [2006]).

Perangkat utama homo economicus dalam mengejar kepnetingan-diri (self-interest) dan pemenuhan hasrtanya adalah kalkulus rasional. Istilah ‘rasional’ mungkin menakutkan. Namun yang dimaksud rasional dalam homo economicus hanya usaha menimbang prospek keuntungan, kerugian, dan tingkat kepuasan hasrat. Maka rasionalitas homo economicus berisi pilihan sarana paling jitu untuk mencapai tujuan tertentu. Rasional identik dengan prinsip efisien. Soal tujuan yang dikejar “baik” atau “buruk” tidaklah relevan untuk homo economicus. Jadi, rasionalitas hanya menyangkut sarana, bukan tujuan. Cuma, tunggu dulu! Karena sesungguhnya tiada yang khas economicus di sini, sebab cara seperti itu tidak lebih dari langkah biasa dalam semua tindakan bermutu, entah itu tindakan berdagang atau berdoa, belajar ataupun bersenggama (bdk. Polanyi 1977: 26).

Kepentingan-diri dalam homo economicus tidak lagi dalam pengertian self-interest, tapi lebih mendekati arti selfishness (Sen 1977: 317). Ciri keterpusatan pada diri (self-centredness). Artinya, arus perilaku homo economicus berfokus hanya pada konsekuensi tindakan bagi dirinya sendiri (Sen 2002: 80). Diri tidak hanya menunjuk pada pelaku tindakan (yaitu individu), tetapi juga diri sebagai satu-satunya pihak yang paling tahu “kebenaran” hasratnya. Maka baiklah diingat pokok dari John Stuart Mill bahwa ciri economicus terletak dalam aspek tindakan yang terkait dengan “hasrat memiliki kekayaan”, dan bukan dengan segi peraturan tindakan (seperti dalam ilmu hukum), yakni mahkluk aturan. Tapi apa yang dimaksud kepentingan-diri bukan lagi dalam arti klasik, yaitu kepeduliaan terhadap kesejahteraan diri serta lingkungan orang-orang terdekat yang kesejahteraanya terkait pada masyarakat yang hidup dalam wilayah yang sama dengan tindakan individu. Isi hasrat diketahui melalui apa yang dipilihnya – inilah yang disebut revealed preference. Tentu ini logika curang, tetapi homo economicus tidak terlalu peduli dengan logika.

Arti ‘kepentingan-diri’ yang selama ribuan tahun sebelumnya mencangkup kepedulian pada kehormatan, martabat, dan bahkan hidup sesudah kematian, dalam ciri homo economicus mengalami penciutan ke dalam urusan keuntungan material/finansial/uang. Lalu terjadi penciutan lanjut. Karena hasrat dan kepentingan-diri tidak mungkin diukur langsung, homo economicus mengukur dengan harga (price) yang bersedia dibayar bagi pemenuhan hasrat (Robinson 1962: 48-49). Tak ada ukuran nyata yang lebih dapat diterima homo economicus daripada harga (price). Dengan itu juga segera terjadi kolonisasi. Karena obyek hasrat yang menjadi isi kepentingan-diri manusia tidak terbatas hanya pada soal kekayaan, homo economicus menuntut bukan harta yang dikenai harga, tetapi juga berbagai obyek hasrat lain: dari seks sampai kegembiraan, dari keadilan sampai terapi, dari udara sehat sampai karya seni (bdk. Hirshleifer 1985: 53; Fine 1999: 415). Di situlah tertanam benih kolonisasi oleh homo economicus yang mengambil rupa komersialisasi berbagai bidang kehidupan.

Bagi homo economicus, kemampuan membayar harga (daya-beli) adaalah kunci yang mengantarkan obyek hasrat yang menjadi isi kepentingan-diri ke seluruh isi bidang kehidupan. Tapi homo economicus hanya bisa punya daya-beli jika mampu menumpuk pundi-pundi dengan menjual-belikan apa saja yang dapat dikenai harga. Dengan itu tercipta syarat kelangkaan (scarcity), bagian pengertian sentral ‘ekonomi’. Inilah yang disebut postulat kelangkaan (scarcity postulate) (Polanyi 1957: 246). Inilah bentuk homo econimucus yang sering disalahpahami orang-orang yang mengaku diri sebagai terpelajar dan sering fanatik dengan keyakinan bahwa homo econimucus mendasari semua perilaku manusia dan akan menjadi solusi bagi penataan Indonesia mesti menjadi. Itulah gejala self-fulfilling prophecy.

Semakin percaya dan menghayati ciri-ciri homo econimucus, semakin homo econimucus akan tercipta dalam diri manusia. Ketika tercipta dalam diri manusia menjadi kawanan hewan, homines economici bahkan tidak punya tujuan pasti selain terus-menerus melakukan pembenaran diri. Tempatkan keadilan pada hak asasi (human rights), bukan pada daya-beli. Untuk tata peradilan di Republik tidak menganut prinsip keramat “pembayar tertinggi adalah pemenang”. Tapi karena ada keadilan dalam hak asasi (human rights). Bagi manusia yang ingin memperoleh jabatan hakim jangan sekali-kali mencari kekayaan atas nama hukum, karena gaji dan tunjangan jabatan hakim telah diatur oleh pemerintah, dan hakim juga mempunyai sumpah jabatan yang murni untuk mengabdi kepada masyarakat demi terciptanya sebuah negara.masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan pembukaan UUD 1945.

Dengan itu, perkenankan tulisan ini mengajukan argumen: kualitas keadilan pada tata pengadilan tidak tercipta dari hasil asumsi homo economicus bagi penataan Indonesia mesti menjadi. Mahkluk ekonomi yang melahirkan ilmu ekonomi, tetapi ilmu ekonomi yang menciptakan mahkluk ekonomi: mahkluk aturan di bidangan kesejahteraan ekonomi pada kantor hakim/jabatan hakim. Di sini sebaiknya tulisan ini berhenti, “perayaan atas batas ilmu”.

Sumber Relevan

Bahan Extension Course Filsafat dan Budaya dengan tema “Filsafat Uang”, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 5 Juni 2015

B. Herry Priyono, 2017 Homo Economicus

Bab II buku itu, ketika menjelaskan lingkup studi ilmu ekonomi, Marshall menulis begini: “In all this, they deal with man as he is, not with an abstract or economic man” (Marshall 1982 [1890]: 22).

Hirshleifer, Jack (1985) ‘The Expanding Domain of Economics’, American Economic Review, Vol. 75, No. 6, Desember, pp. 53-68.

Hont, Istvan (2010) Jealousy of Trade: International Competition and the Nation-State in Historical Perpective, Cambrige University Press.

Kompas.com, 2024 ribuan-hakim-bakal-mogok-kerja-protes-gaji-dan-tunjangan-12-tahun-tak-naik

Lihat buku Adam Smith, (1759 sampai 1776) The Theory of Moral Sentiments sampai The Wealth of Nations, karya Smith yang menjadi peletak dasar ilmu ekonomi modern di eropa.

Penggalian asal-usul istilah homo economicus, Edward O’Boyle menemukan pemakaian istilah homo economicus dalam karya Maffeo Panteleoni, Principii di Economia Pura (1889). Tetapi juga ditemukan indikasi kuat bahwa istilah itu telah digunakan sebelumnya dalam beberapa literatur ekonomi berbahasa Jerman di paro abad ke-19 (O’Boyle 2010: 2).

Polanyi, Karl (1997) The Livelihood of Man (ed. H. W. Pearson), New York: Academic Press.

Polanyi, Karl; Arensberg, C.; Pearson, H. (eds.) (1957) Trade and Market in the Early Empires: Economies in History and Theory, New York: The Free Press.

Robinson, Joan (1962) Economic Philosophy, London: Penguin.

Rogers, Kelly (ed.) (1997) Self-Interset: An Anthology of Philosophical Perspevtives, London: Routledge.

Sen, Amartya (1977) ‘Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundation of Economic Theory’, Philosophy and Public Affairs, Vol. 6, No. 4, pp. 217-344.

Sen, Amartya (2002) Rationality and Freedom, Cambridge, MA: Harvard University Press.

Schumpeter, Joseph A. (1954), History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo(Mahasiswa Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Kendari).

Terima Politik Uang: Bukti Jual Harga Diri

Opini – Rasa malu harus terpatri dalam diri masyarakat sebagai pemilih rasional dan berhati mulia menilai bujukan dan rayuan para calon Bupati (cabup) kepulauan Sula.

Bujukan dan rayuan itu bukan hanya menggunakan janji kampanye semata, melainkan juga menggunakan uang untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih di tempat pemungutan suara.

Pelaku terima politik uang ini bukan hanya selalu terjadi pada masyarakat yang diistilahkan masyarakat awam. Namum juga sering terjadi pada masyarakat bergelar pendidikan perguruan tinggi.

Berbagai alasan bisa dimunculkan, alasan keadaan, dan kesempatan. Tetapi kenapa politik uang dilarang? Dari segi peraturan merupakan tindakan korupsi jenis suap menyuap.

Dari segi politik merupakan tindakan kejahatan demokrasi. Dari segi kemanusiaan merupakan tindakan jual harga diri dengan uang.

Karena itu, harapannya masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih calon bupati yang bertanggung jawab dan berintegritas memandu pembangunan daerah sula menjadi daerah yang maju dari segi pembangunan infrastruktur dan ruang hidup ekonomi masyarakat yang sehat untuk lima tahun kedepan.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kendari

Bermurah Hatilah Dalam Ikhtiar Menuntut Hak Kepada Pemimpin

OPINI – Dalam surat Al-Alaq ayat 1 disebutkan perintah untuk iqra yaitu membaca dengan menyebut nama Tuhan.

Baca! Tersebut sebuah buku “THE HUMAN STORY” (Sejarah Kita, dari Zaman Batu Hingga Kini) tentang tema kebudayaan pra aksara pada “Zaman Batu”. Disebut “Zaman Batu” karena hasil-hasil kebudayaan pada masa itu terbuat dari batu.

Sehubungan dengan buku di atas, terdapat sebuah berita 10 September 2023 yang beredar di media online dengan judul “Tambang dan Peradaban di Kepulauan Sula” Mengutip pengertian dan arti dalam judul berita bahwa “Tambang adalah tuntutan peradaban; menolak tambang berarti menghentikan peradaban itu sendiri (transtimur.com).

Keterangan tersebut menarik untuk ditelaah, karena itu kasus dari kebanyakan orang-orang kepala batu Dibuat dari tanah-air pada masa kini yang kadang-kadang masih tidak menerima keterangan yakin tanpa bukti materil (bukti empiris) pada “Zaman Logam” yang meliputi tembaga, perunggu, dan besi. Dan kasus tersebut bukan kasus baru terjadi pada masa kini.

Masih dalam berita yang sama, untuk menggali logam didalam bumi diperlukan tebang pohon. Tebang pohon untuk menggali logam didalam bumi untuk melangsungkan kehidupan pembangunan peradaban materil dimaksudnya “Menolak tambang berarti peradaban”, sama halnya mengatakan kami sedang melakukan perbaikan di bumi.

Kasus dari kebanyakan orang-orang semacam itu telah diterangkan (QS. Al-Baqarah: 11-12) yang artinya;

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.

Kasus ijon politik melalui perizinan tambang (logam), Kasus korupsi pertambangan (logam), Kasus memakan riba hasil jual beli tambang (logam) Merupakan gambaran sesat yang nyata para pemimpin di negeri ini yang bersumpah atas nama Tuhan.

Kasus itu sudah menjadi rahasia publik sehari-hari. Lantas saran dalam tulisan ini bagaimana? untuk menjawab pertanyaan itu maka boleh buka dan baca tulisan pada linkhttps://www.linksatu.com/post/bijih-besi-dan-ekonomi-masyarakat-kepulauan-sula.

Tentang Pemimpin

Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Menuntut hak keadilan dan kemakmuran kepada pemimpin di negeri ini adalah kewajiban bagi semua anak bangsa yang merasa dizolomi para pemimpinnya di setiap daerah. Namun, bermurah hatilah pada saat kamu menuntut hakmu, dan semoga kamu yang dituntut diberikan rahmat Allah.

Lantas bagaimana dengan keterangan (QS. Al-Baqarah: 7)

“Allah SWT telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

Sehingga untuk selalu senantiasa terjaga hati kita dijalan ikhtiar maka selalu ingat do’a Rasulullah Saw;

“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Sehubungan dengan semua itu maka semoga kita selalu bermurah hati dalam menuntut hak kita kepada pemimpin di negeri ini. Dan tetap tersenyum, jangan putus asa.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kendari.

Asal Usul Nilai Tukar Mengambang Dan Praktik Spekulasi Dalam Sistem Keuangan

OPINI – Untuk menghancurkan suatu bangsa atau negara, maka hancurkan ingatan (sejarah) anak bangsa. Tetapi maksud dan tujuan tulisan ini sebagai wujud ikhtiar untuk mengajak anak bangsa kembali ingat (sejarah) terkhusus dalam sistem keuangan internasional, yang sehingga berdampak pada kita abab-21 kini.

Pertanyaan fundamental dalam nilai (aksiologi) adalah bahwa apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai? Benda dimaksud emas. Dan dalam tulisan ini nampak terbaca emas itu bernilai, terbukti penilaian standar emas sebagai harga tetap untuk digunakan menentukan nilai mata uang kertas. Misal, jika Amerika Serikat secara perhitungan menetapkan harga emas sebesar $500 per ons, maka nilai dolar akan menjadi 1/500 ons emas. Penilaian standar emas dimaksud di sini sebagai harga tetap.

Daya tarik dan keuntungan standar emas adalah bahwa standar emas menghilangkan kendali atas penerbitan mata uang kertas di tangan manusia yang tidak sempurna. Dengan kuantitas fisik emas yang menjadi batasan penerbitannya, masyarakat berpotensi dan dipastikan terhindar dari inflasi. Terminologi inflasi adalah kenaikan harga-harga dari tahun ke tahun dalam sektor ekonomi barang dan jasa.

Seperti diketahui standar emas abad-21 kini tidak digunakan oleh pemerintah mana pun. Inggris berhenti menggunakan standar emas pada tahun 1931, dan Amerika Serikat berhenti mengikuti standar emas pada tahun 1933, dan akhirnya meninggalkan sisa-sisa sistem tersebut pada tahun 1973. Standar emas sepenuhnya digantikan mata uang fiat, istilah untuk menggambarkan mata uang yang digunakan karena perintah pemerintah, atau mata uang fiat, bahwa mata uang tersebut harus diterima sebagai alat pembayaran. Misal, di Amerika Serikat, dolar adalah mata uang kertas, dan di Nigeria, naira adalah mata uang kertas.

Kenapa Inggris berhenti menggunakan standar emas pada tahun 1931? kenapa Amerika Serikat berhenti mengikuti standar emas pada tahun 1933? Untuk jawab pertanyaan ini, maka tentu ada sejarah singkatnya. Sehingga dari sejarah singkat ini kita akan mengetahui asal usul nilai tukar mengambang dan praktik spekulasi dalam sistem keuangan. Yang abad-21 kini kita sebut fluktuasi nilai tukar.

Dekade Sebelum Perang Dunia I

Pada dekade sebelum Perang Dunia I, perdagangan internasional dilakukan berdasarkan apa yang kemudian dikenal sebagai standar emas klasik. Negara-negara dengan surplus perdagangan mengalami kenaikan cadangan emas mengumpulkan emas sebagai pembayaran atas ekspor barang dan jasa. Sebaliknya, negara-negara dengan defisit perdagangan mengalami penurunan cadangan emas disebabkan emas mengalir keluar dari negara-negara sebagai pembayaran atas impor barang dan jasa. Dalam sistem ini, perdagangan antar negara diselesaikan dengan menggunakan emas fisik.

Selama sebagian besar periode 1717 hingga 1931, Inggris menerapkan standar emas formal atau de facto. Ini berarti bahwa setiap pemegang uang kertas yang diterbitkan oleh Bank of England dapat menunjukkan uang kertas tersebut di Bank dan meminta pembayaran segera dalam bentuk emas batangan dengan nilai tukar tetap. Di bawah rezim ini, Bank menetapkan suku bunga untuk memastikan bahwa cukup banyak emas yang ditarik ke London untuk mempertahankan konvertibilitas. Artinya selama 214 tahun, Inggris menerapkan standar emas dengan nilai tukar tetap, tetapi tekanan ekonomi akibat depresi ekonomi di Inggris memaksa Inggris meninggalkan standar emas pada tahun 1931.

Para pendukung standar emas berpendapat bahwa standar emas akan menahan pemerintah untuk tidak mencetak mata uang kertas, sehingga mencegah inflasi. Akan tetapi, para penentang, seperti ekonom John Maynard Keynes, menegaskan bahwa standar emas menyebabkan suku bunga yang tidak sesuai untuk tujuan ekonomi lainnya, seperti mengurangi pengangguran.

Sehingga diketahui terdapat dua alasan kenapa Inggris berhenti menggunakan standar emas pada tahun 1931: pertama, tekanan ekonomi akibat depresi ekonomi, kedua, ekonom John Maynard Keynes menentang penggunaan standar emas menyebabkan suku bunga yang tidak sesuai untuk tujuan ekonomi, dan menyebabkan tidak sesuai mengurangi pengangguran.

Standar emas memiliki sejarah yang tiada duanya dibandingkan cadangan aset lainnya karena standar emas mempunyai pengaruh unik terhadap penawaran dan permintaan (hukum ekonomi). Pendukung standar emas masih melekat pada masa lalu ketika standar emas berkuasa, namun masa lalu standar emas juga mencakup kejatuhan yang harus dipahami untuk menilai masa depan standar emas dengan tepat.

Masa lalu tersebut berdasarkan pada pernyataan Presiden Herbert Hoover yang terkenal pada tahun 1933 bahwa “Kami memiliki emas karena kami tidak dapat mempercayai pemerintah,” dalam pernyataannya kepada Franklin D. Roosevelt. Pernyataan ini membuktikan salah satu peristiwa paling kejam dalam sejarah keuangan Amerika Serikat tahun 1929 yang ditandai dengan krisis keuangan Amerika Serikat tahun 1929.

Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934

Pada tahun 1933 hadir Undang-Undang Perbankan Darurat tahun 1933. Undang-Undang Perbankan Darurat tahun 1933 adalah sebuah undang-undang yang disahkan di tengah-tengah Depresi Ekonomi Amerika Serikat yang mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan dan memulihkan kepercayaan pada sistem perbankan Amerika Serikat, yang memaksa semua warga Amerika Serikat untuk mengkonversi koin emas, batangan, dan sertifikat mereka menjadi dolar Amerika Serikat.

Pada tahun 1934, Presiden Roosevelt menandatangani Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934, yang mengalihkan kepemilikan emas dari pemegang swasta ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Meskipun Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934, berhasil menghentikan arus keluar emas selama Depresi Ekonomi Amerika Serikat, Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934 tersebut tidak mengubah keyakinan pendukung standar emas, yaitu orang-orang yang selalu percaya pada stabilitas standar emas sebagai sumber kekayaan.

Kemudian, pada tahun 1934, pemerintah Amerika Serikat melakukan revaluasi standar emas dari $20,67 per ons menjadi $35 per ons, meningkatkan jumlah uang kertas yang diperlukan untuk membeli satu ons emas guna membantu meningkatkan perekonomian pemerintah Amerika Serikat. Akibat revaluasi standar emas dalam wakru sama devaluasi dolar secara dramatis langsung terjadi. Harga emas $35 per ons yang lebih tinggi ini meningkatkan konversi standar emas menjadi dolar Amerika Serikat, sehingga secara efektif memungkinkan Amerika Serikat untuk menguasai pasar penjualan emas. Produksi emas melonjak sehingga pada tahun 1939 jumlah emas cukup untuk menggantikan seluruh mata uang kertas global yang beredar. Kita tahu bahwa hal ini terjadi pada Perang Dunia II.

Perjanjian Bretton Woods

Ketika Perang Dunia II akan segera berakhir, negara-negara Eropa bertemu untuk mengembangkan Perjanjian Bretton Woods, yang akan menjadi kerangka kerja pasar mata uang kertas global hingga tahun 1971. Dalam sistem Bretton Woods, semua mata uang kertas nasional dinilai dalam kaitannya dengan mata uang kertas nasional. Dolar Amerika Serikat, yang menjadi mata uang cadangan dominan. Dolar Amerika Serikat, pada gilira dolar Amerika Serikat, dapat dikonversi menjadi emas dengan kurs tetap $35 per ons. Sistem keuangan global terus beroperasi berdasarkan standar emas, meskipun secara tidak langsung. Perjanjian Bretton Woods menghasilkan hubungan yang menarik antara standar emas dan dolar Amerika Serikat sebagai cadangan dominan dari waktu ke waktu.

Dalam jangka panjang, penurunan dolar umumnya berarti kenaikan harga emas. Dalam jangka pendek, hal ini tidak selalu benar, dan hubungan tersebut bisa jadi lemah, seperti yang ditunjukkan grafik harian satu tahun berikut ini:

Pada gambar di atas, perhatikan indikator korelasi yang bergerak dari korelasi negatif yang kuat ke korelasi positif dan sebaliknya. Korelasinya masih bias ke arah sebaliknya (negatif pada studi korelasi), sehingga ketika dolar naik, emas biasanya turun. Pada akhir Perang Dunia II, AS memiliki 75% emas moneter dunia dan dolar adalah satu-satunya mata uang yang masih didukung langsung standar emas.

Namun, ketika dunia kembali pulih setelah Perang Dunia II, cadangan emas Amerika Serikat terus menurun karena uang mengalir ke negara-negara yang dilanda perang dan tingginya permintaan impor. Lingkungan inflasi yang tinggi pada akhir tahun 1960an menyedot sedikit tekanan dari standar emas.  Dari tahun 1968 hingga 1971, hanya bank sentral yang dapat melakukan perdagangan dengan Amerika Serikat dengan harga $35 per ounce. Dengan menyediakan kumpulan cadangan emas, harga pasar emas dapat dijaga agar tetap sejalan dengan tingkat paritas resmi. 

Dari tahun 1968 hingga 1971, hanya bank sentral yang dapat melakukan perdagangan dengan Amerika Serikat dengan harga $35 per ounce. Dengan menyediakan kumpulan cadangan emas, harga pasar emas dapat dijaga agar tetap sejalan dengan tingkat paritas resmi. Pada bulan Agustus 1971, Presiden Amerika Serikat Nixon memutuskan konvertibilitas langsung dolar Amerika Serikat menjadi emas. Dengan keputusan ini, pasar mata uang kertas internasional, yang semakin bergantung pada dolar Amerika Serikat sejak berlakunya Perjanjian Bretton Woods, kehilangan hubungan formalnya dengan standar emas. Dolar Amerika Serikat, dan sistem keuangan global yang ditopang secara efektif, memasuki era uang kertas.

Saat ini tidak ada negara yang menggunakan standar emas. Seperti disebutkan di atas, Inggris menghentikan standar emas pada tahun 1931, dan Amerika Serikat melakukan hal yang sama pada tahun 1933. Pada tahun 1971, Amerika sepenuhnya memutuskan konvertibilitas langsung dolar menjadi emas. Dengan kata lain, tidak ada negara yang menyokong mata uangnya dengan emas. Di Amerika Serikat, mata uang kertas didukung oleh pemerintah dan kemampuan mata uang kerta untuk terus menghasilkan pendapatan Amerika Serikat.

Perjanjian Brussel

Sejak berlakunya Perjanjian Bretton Woods, kehilangan hubungan formalnya dengan standar emas. Dan tanggal 12 maret 1973 berdasarkan Perjanjian Brussel (perjanjian Eropa yang menggabungkan tiga badan eksekutif Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa, Komunitas Energi Atom Eropa (Euratom) dan Masyarakat Ekonomi Eropa ke dalam struktur kelembagaan tunggal) maka semua kaitan nilai terhadp standar US$ diputuskan untuk ditinggalkan. Hal ini membuat mata uang yang utama tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas.

Mulailah yang kemudian dikenal dengan asal usul nilai tukar mengambang, yang beresiko penuh dengan ketidakstabilan mata uang kertas dalam sistem keuangan internasional. Hal ini mengakibatkan ketika ada mata uang kertas yang mengalami revaluasi (penilaian kembali) terhadap dolar Amerika Serikat maka pihak investor terus berlomba untuk melakukan penjualan kepemilikan akan standar US$ dengan menggunakan nilai tukar tetap (kurs tetap) yang juga ditawarkan pada mata uang yang tersisa yang masih ada dalam sistem keuangan internasional.

Dalam pernyataan ketua Federal Reserve Amerika Serikat Suku bunga akan sangat disesuaikan dengan keinginan dari pasar dengan perhitungan bahwa suku bunga yang lebih tinggi akan bisa membuat inflasi bisa menjadi lebih terkendali. Hal ini juga bisa berdampak lain, yaitu munculnya kegiatan spekulasi di dalam dunia keuangan yang modern.

Pada John Maynard Keynesian dikatakan bahwa dengan sistem yang baru ini akan membuat pemerintah di suatu negara bisa melakukan penyesuaian akan kebijakan moneter dan fiskal. John Maynard Keynes yang menentang penggunaan standar emas. John Maynard Keynes juga menentang suku bunga yang tidak sesuai untuk tujuan ekonomi, dan suku bunga menurut John Maynard Keynes tidak sesuai untuk mengurangi pengangguran. Namun, John Maynard Keynes juga perpaham monetaris system yang mendukung adanya bunga bank dalam sistem keuangan internasional. Jhon Maynard Keyness, menyatakan motif seseorang memegang mata uang, yaitu :

 “The three divisions of liquidity-preference which we have distinguished above, may be defined as depending on (i) the transactions-motive, i.e. the need of cash for the current transaction of personal and business exchanges; (ii) the precautionary-motive, i.e. the desire for security as to the future cash equivalent of a certain proportion of total resources; and (iii) the speculativemotive, i.e. the object of securing profit from knowing better than the market what the future will bring forth.” (“Tiga pembagian preferensi likuiditas yang telah kita bedakan di atas, dapat didefinisikan tergantung pada (i) motif transaksi, yaitu kebutuhan uang tunai untuk transaksi pertukaran pribadi dan bisnis saat ini; (ii) motif kehati-hatian, yaitu keinginan akan rasa aman sehubungan dengan setara kas di masa depan dengan proporsi tertentu dari total sumber daya; dan (iii) motif spekulatif, yaitu tujuan mendapatkan keuntungan dengan mengetahui lebih baik dari pasar apa yang akan terjadi di masa depan.”).

Pernyataan John Maynard Keynesian, cukup jelas bahwa mata uang selain berfungsi untuk alat tukar menukar dan tabungan, juga merupakan sebuah komoditas yang berfungsi untuk memberikan keuntungan bagi pemiliknya.

Sehingga dapat diketahui bahwa asal usul nilai tukar mengambang dan praktik spekulasi dalam sistem keuangan internasional dimulai dari tahun 1931, tahun 1933 hingga abad-21 kini dalam sistem keuangan internasional, karena mata kertas beredar tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas.

Kita juga dapat ketahui bahwa karena mata uang kertas beredar tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas, sehingga nilai tukar mengambang berfungsi terbuka di pasar, tempat spekulasi, bersama dengan kekuatan permintaan dan penawaran, mengendalikan harga. Struktur nilai tukar mengambang berarti bahwa perubahan harga mata uang jangka panjang menunjukkan kekuatan ekonomi komparatif dan perbedaan suku bunga di berbagai negara. Hal ini juga memunculkan apa yang disebut Teori Nilai Waktu Uang (TNWU). Teori Nilai Waktu Uang (TNWU) dibuat oleh William R. Lasher yang sepepahaman dengan Jhon Maynard Keyness.

Kemduian, sejak negara-negara meninggalkan standar emas, target lain untuk kebijakan moneter mencakup jumlah uang aktual dalam sistem keuangan (1986 hingga 1979) atau mempertahankan nilai tukar tertentu; misalnya, selama dan setelah Perang Dunia II, dan di bawah Mekanisme Nilai Tukar (1990 hingga 1992). Saat ini, tujuan Bank adalah menjaga inflasi, yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) melalui kebijkan suku bunga Bank dalam sistem moneter (sistem keuangan).

Indonesia Abad-21

Dalam konteks kita Indonesia abad-21 kini sebenar terjebak dalam nilai tukar tetap dolar Amerika Serikat (kurs tetap AS) dari era nilai tukar mengambang dan prakatik spekulasi dalam sistem keuangan internasional tersebut. Karena mata uang kertas dolar Amerika Serikat sebagai cadangan devisa Indonesia tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas.

Bahkan langkah alternatif Indonesia untuk keluar dari jebakan tersebut dengan wacana revaluasi (penilaian kembali) melalui merode redominasi nilai tukar dan penggunaan mata uang digital/Cripto (Bitcoin dan JPM Coin) yang sesungguhnya tidak menjawab akar masalah, justru Indonesia lebih terjebak dalam sistem keuangan internasional abad-21 kini.

Kemudian, kenaikan harga-harga barang dan jasa selalu dinisbatkan pada sebuah kata “penyesuaian” tanpa patokan dasar intrinsiik yang riil. Sebuah kata “penyesuaian” telah menjadi kata baku politis yang tidak ada kaitanya dengan masalah kehidupan yang riil dalam sosial ekonomi masyarakat yang riil (kenyataan yang nyata).

Padahal hari ini sebenar dibutuhkan masyarakat adalah masyarakat lebih gembira manakala harga bahan pokok murah, Bahan Bakar Minyak (BBM) disubsidi, kuliah gratis, mudah mencari kerja, memperhatikan para petani dengan tidak mengimpor bahan pangan, peduli para nelayan dan lain sebagainya. bukan angka-angka persen Indeks Harga Konsumen (IHK) yang tiap tahun dilaporkan Badan Pusat Statsitik (BPS), laporan inflasi dan suku bunga Bank Indonesia (BI) dari tahun ke tahun yang tidak memberikan manfaat kuntungan dunia-akhirat kepada masyarakat. Contoh kasus; dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah tidak pernah stabil terhadap nilai tukar dolar AS.

Sehubungan dengan contoh kasus, jika kita cermat dan teliti mendalam alur sejarah tersebut, maka kita dapat mengerti bahwa sesungguhnya bukan pada persoalan standar emas, melainkan pada persoalan praktik spekulasi dan suku bunga Bank dalam sistem keuangan internasional. Maka, untuk perbaikan fiskal dalam perekonomian Indonesia, dimulai dari perbaikan sistem dan kebijakan nilai tukar tetap rupiah yang memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil. Dengan demikian masyarakat terhindar dari praktik spekulasi dan suku bunga Bank dalam sistem keuangan. Karena praktik spekulasi dan suku bunga Bank dalam sistem keuangan termasuk dalam kategori gharar atau masyir dan riba dilarang dalam ekonomi dan bisnis Islam.

Referensi

https://www-investopedia-com.translate.goog/ask/answers/09/gold-standard.asp _x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

David Kynaston, Hingga Pasir Terakhir Waktu: Sejarah Bank Inggris 1694–2013 , 2017.

Steven Durlauf dan Lawrence Blume (eds), Kamus Ekonomi Palgrave Baru , 2008, Vol 1 hal. 340-348.

Lihat pengarahan Perpustakaan untuk sumber dan informasi lebih lanjut Bank of England: Sejarah, Peran, dan Perdebatan Kebijakan Saat Ini , 6 Januari 2020.

Badan Pusat Statistik Nasional (BPS-N) 

Muchdarsyah, S. (1991). Uang dan Bank. Jakarta: Rineka Cipta.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).

Tikus, Tikus Kantor: Apakah Banyak di Sula?

Opini – Tulisan ini berawal dari pertanyaan dan jawaban yang sok tahu dan menjadi tahu, bukan dari keinginan. Dan bukan berawal dari tahu dan tempe. Karena tempe tidak tepat atau cocok menganalogikan sebuah bangsa. Pada waktu malam hari tepat pukul ½ malam waktu Indonesia tenggara bagian timur di hari senin, saya bersama teman saya berinisial NR, seorang teman yang saban hari saya sebut teman rasa saudara. Ingat sekali lagi saudara bukan saudagar.

Kami berdua naik motor yamaha jupiter mx king untuk jalan-jalan di malam hari dengan maksud dan tujuan untuk membeli sebungkus kopi pabrikan alias sebungkus kopi yang sudah diproses untuk siap dimasak dengan air dan disiap dikonsumsi kedalam perut. Sebungkus kopi itu adalah kopi kapal api.

Dalam perjalan mengendari motor, setelah kembali membeli sebungkus kopi kapal api, teman saya yang rasa saudara itu bertanya kepada saya, karena nama saya sering disapa cius, walaupun nama lengkap bukan itu, “cius, apa itu istilah tikus kantor?” setelah mendengar pertanyaan dari teman saya itu, seketika saya pun terdiam sebelum menjawab, masih dalam perjalan kembali kami berdua dari membeli kopi kapal api. Masih suasana mengendarai motor, dengan sok tahu, saya pun menjawab “untuk menjawab pertanyaan itu, perlu ada kajian filosofi, historis, dan yuridis”. Hahahhaha !!! sedikit aneh, namun hal itu dianggap kami berdua adalah hal yang perlu untuk diketahui.

Dari membeli sebungkus kopi kapal api, tadi, Alhamdullah kami berdua pun tiba di sekretariat organisasi kemahasiswaan. Namun, setelah pertanyaan dan jawaban itu, tidak ada lagi penjelasan berikutnya pada malam hari di hari senin itu juga, hanya istilah-istilah yang saya sebut sebelumnya.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menurut saya menarik untuk dibaca tentang sejarah ushul fiqh. Namun dalam tulisan ini saya tidak menjelaskan bagaimana sejarah ushul fiqh. Namun ada sebuah kalimat dalam tulisan artikel tentang ushul fiqh, yang menyebabkan saya sedikit lama merenung, bingini kalimatnya “istilah itu bukan ilmu, tapi apa yang dimaksud istilah itu.” Sehingga istilah itu di sini ialah tikus kantor.

Sebagaimana yang saya tulis sebelumnya bahwa tulisan ini berawal dari pertanyaan dan jawaban yang sok tahu dan menjadi tahu. Hahahaha !!! namun dengan ucapan Alhamdulillah dari pertanyaan itu membuat jiwa saya terpanggil untuk membaca maksud kenapa ada istilah tikus kantor, itu. Iya harus membaca terlebih dahulu sebelum berbicara atau menulis, membaca itu wajib sebagaimana firman Allah “Iqro” yang artinya “bacalah.”

Jika sedikit ditulusuri istilah ini maka kita dapat menemukan dalam sebuah lagu dari seorang penyanyi legendaris berkebangsaan Indonesia bernama Iwan Fals “Tikus-Tikus Kantor”, hahahaha maaf! Sedikit berseni politik. Tetapi memang istilah ini dimaksudkan kepada kejahatan para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum melalui sistem demokrasi berdasarkan pembukaan UUD 1945.Namun jauh sebelum istilah Tikus Kantor, itu menjadi sebuah seni lirik lagu, sudah terdapat dalam sebuah buku dari seorang penulis melayu berkebangsaan indonesia ialah adalah Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf Modern”.

Menarik untuk dibaca sebab buku tersebut, menguraikan maksud istilah Tikus sebagaimana seorang pencuri. “keinginan adalah awal dari penderitaan”. Sekali lagi keinginan.

Pada halaman 239, Buya Hamka menulis dalam bukunya Harta Baik dan Harta Buruk. Setelah saya menelaah dengan sangat hati-hati pada kata dan kalimat yang ditulis Buya Hamka, akhirnya saya menemukan dua kata dalam satu kalimat yang ditulis oleh Buya Hamka pada halaman 242 dalam bukunya yakni laksana tikus. Dua kata ini mengiatkan saya untuk kembali sebelumnya dengan pertanyaan dari teman saya yang rasa saudara itu.

Begini penjelasan lengkap dari laksana tikus. Pandai sekali nenek-moyang memilih perkataan “sau-dagar” bagi orang yang pintar berjual-beli, sebab “su” artinya seribu, dan “dagar” artinya tipu. Sebagaimana “sau-dara” artinya seribu cinta. Kecintaan kepada harta sehingga sampai menyembah harta, telah menimbulkan agama sendiri, di luar dari agama Islam dan Kristen, di luar dari agama Brahmana dan Budha, yaitu agama yang di wahyukan oleh harta itu sendiri, mana yang halal kata harta, walaupun haram kata agama, diikut juga orang wahyu harta, larangan harta itu juga yang dihentikan orang. (halaman 242).

Terbaliklah aturan masyarakat lantaran harta, puji dan sanjung bisa dibeli dengan harta. Orang junjung tinggi seorang berharta lantaran hartannya, meskipun dia seorang pencuri halus, laksana tikus mencuri daging tumit orang yang tidur nyenyak tengah malam. Dihembusnya supaya dingin, kemudia digigitnya, setelah terasa pedih oleh orang yang tidur itu, digosoknya dengan lidahnya dan dihembusnya pula, sehingga hilang pedih karena dihembus. Setelah orang yang dikena gigit itu bangun pagi-pagi, dan dicobakannya menginjakkan kakinya ke tanah, barulah dia tahu bahwa dia kecurian. Di balik itu, orang kaya budi, miskin uang, tidak ada harganya dalama masyarakat. (halaman 242).

Setelah menelaah dengan sangat hati-hati hasil bacaan, maka seketika saya pun merenung dan bertanya apakah laksana tikus itu merupakan tikus kantor yang diistilahkan kepada kejahatan pejabat para wakil rakyat di negeri ini. Apakah laksana tikus itu banyak di Kepulauan Sula. Maka Haqul Yakin pasti saudara sebagai pembaca yang budiman mengerti-mengetahuinya. Imam Abu Ali Ad Daqqooq An Naisaburi Asy Syafi’i berkata:

الساكت عن الحق شيطان أخرس، والناطق بالباطل شيطان ناطق

“Orang yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah Syaithon Akhros (yakni setan yg bisu dari jenis manusia). Dan orang yang menyampaikan kebathilan ia adalah setan yang berbicara” (Disebutkan oleh imam An-Nawawi di dlm Syarah Shohih Muslim).

Pesan dari penulis buku “membaca buku yang baik berarti memberikan makanan rohani yang baik, dan bahagia itu dekat dengan diri kita ada di dalam diri kita”. Semoga bahagia! Jangan lupa senyum.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).