Kategori
Opini

Dukung Calon Kepala Daerah Yang Bertanggung Jawab Terhadap Alat Peraga Kampanye

OPINI – Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) adalah proses pemilihan umum di Indonesia yang bertujuan untuk memilih kepala daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota beserta wakilnya. Pilkada dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat di suatu daerah, dan bertujuan untuk memperkuat demokrasi dengan melibatkan masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka. Pemilihan umum di Indonesia adalah peristiwa demokrasi besar yang melibatkan partisipasi masyarakat dan penggunaan berbagai atribut Alat Peraga Kampanye (APK) seperti baliho, spanduk, kaos, stiker, dan brosur sebagai media promosi. Namun, setelah pemilu, limbah atribut kampanye sering kali tidak dikelola dengan baik sehingga dapat merusak estetika kota dan menciptakan kekacauan visual, mengakibatkan pencemaran lingkungan, merusak ekosistem, dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Jumlah sampah yang dihasilkan selama pergelaran pemilu di Indonesia pada tahun 2019 dan 2024 menjadi perhatian besar, terutama terkait atribut kampanye. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sekitar 3.658.902 spanduk dan baliho diproduksi selama periode pemilu. Ini mengakibatkan peningkatan volume sampah secara signifikan, dengan total perkiraan mencapai lebih dari 784 ribu meter kubik atau sekitar 392 ribu ton, sementara sampah spesifik dari atribut kampanye seperti baliho, spanduk, dan bendera diperkirakan lebih dari seperempat juta ton. Mayoritas atribut kampanye ini terbuat dari bahan plastik dan material non-biodegradable lainnya, di mana KLHK memperkirakan 70-80% di antaranya berakhir menjadi sampah, menghasilkan ratusan ribu ton sampah plastik yang sebagian besar tidak didaur ulang.

Menurut Greenpeace Indonesia, hanya sebagian kecil dari limbah atribut kampanye yang didaur ulang, sementara sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lingkungan, memperburuk polusi plastik di Indonesia. Kondisi ini menjadi alarm penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat, untuk lebih bijak dalam penggunaan atribut kampanye dan mengutamakan material yang lebih ramah lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2024 untuk pengelolaan sampah Pemilu 2024. Edaran ini meminta kepala daerah mengelola sampah pemilu secara khusus dan melarang pembuangan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) masih merupakan salah satu metode kampanye yang paling banyak digunakan oleh Peserta Pemilu 2024. Agar tidak mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengatur tempat yang boleh dan tidak boleh untuk dipasang APK dalam Pasal 70 PKPU Nomor 15 Tahun 2023, Tempat yang dilarang dipasang APK antara lain tempat ibadah, Rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan-jalan protocol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Sayangnya, pemasangan APK oleh Peserta Pemilu tahun 2024 masih banyak yang melanggar. Bahkan pemasangan APK di beberapa tempat menimbulkan korban jiwa.

Setiap kota atau daerah memiliki pesona dan keindahannya sendiri. Ada yang menawan dengan gedung-gedung tinggi, ada pula yang memikat hati dengan pemandangan alam yang asri dan ruang publik yang ramah. Jalan-jalan dihiasi dengan pepohonan rindang, taman-taman kota menjadi tempat warga berkumpul, dan bangunan-bangunan bersejarah seolah mengisahkan sejarah panjang kota tersebut.

Namun, keindahan ini sering kali tercemar oleh perilaku yang tidak bertanggung jawab, salah satunya dalam bentuk pelanggaran pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK). Banyak pihak yang memasang spanduk, baliho, dan poster kampanye di tempat-tempat yang tidak semestinya. Hal ini tidak hanya merusak estetika kota, tetapi juga menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan ruang publik.

Padahal, jika alat peraga kampanye ditempatkan secara tertib dan sesuai peraturan, keindahan kota tidak perlu terganggu. Setiap sudut kota bisa tetap asri dan rapi, menjadi cerminan dari peradaban warganya yang menghargai kebersihan dan keindahan bersama. Mari jaga keindahan kota kita, demi kenyamanan semua warga dan generasi mendatang yang akan menikmati hasilnya.

Sebagai pemilih yang cerdas, kita memiliki peran penting dalam menentukan masa depan daerah kita. Dalam setiap pemilihan, kita memiliki kesempatan besar untuk memilih pemimpin yang benar-benar peduli dan bertanggung jawab terhadap kepentingan publik, termasuk dalam aspek-aspek penting seperti Alat Peraga Kampanye (APK). APK bukan hanya sekadar media untuk memperkenalkan calon, tetapi juga cerminan dari sikap dan integritas calon tersebut terhadap aturan serta tata tertib umum.

Pemimpin yang bertanggung jawab adalah mereka yang memahami dan menghormati aturan terkait pemasangan APK. Mereka menempatkan APK dengan memperhatikan estetika dan lingkungan sekitar, serta tidak memasangnya di tempat-tempat yang dilarang atau mengganggu kenyamanan publik. Dengan memilih calon yang bertanggung jawab atas penggunaan APK, kita ikut mendukung terciptanya lingkungan yang tertib dan asri serta menegaskan bahwa aturan dibuat untuk kebaikan bersama.

Oleh karena itu, sebagai pemilih yang cerdas, mari kita pilih calon kepala daerah yang memegang teguh prinsip bertanggung jawab dan menghargai kepentingan umum. Pemimpin seperti inilah yang akan mampu menjaga kepercayaan masyarakat dan membawa perubahan positif bagi daerah kita. Ingat, pilihan kita akan menentukan masa depan daerah kita. Mari ciptakan lingkungan pemilu yang bersih dan tertib, mulai dari mendukung calon yang peduli dan bertanggung jawab.

Oleh: Rifai Salihi (Ketua Kebijakan Publik PD. KAMMI Kota Ambon)

Kategori
Opini

Homo Economicus: Kesejahteraan Kantor Hakim

OPINI – Spesialisasi ilmu itu berkah, dan sekaligus peringatan akan keterbatasan nalar. Namun nalar memang punya kecenderungan menjadi pongah. Nalar tajam dan bisa mendalam, tetapi nalar juga mudah lupa batas dan mortalitas. Ini bukan sinis nalar, tapi perayaan atas batas ilmu.

Fakta: Ribuan Hakim Se-Indonesia Bakal Mogok Kerja, Protes Gaji dan Tunjangan 12 Tahun Tak Naik. Ini sebuah judul berita yang di kabarkan kompas.com pada 26 September 2024, 15:45 WIB. Fakta judul ini menarik penulis untuk telaah lebih dalam untuk mengetahui apa dibalik alasan adanya ribuan hakim bakal mogok kerja. Pertama; aturan mengenai gaji dan tunjangan jabatan hakim yang saat ini berlaku mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012. Kedua; Peratutran Pemerinntah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 didalilkan belum disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini karena ekonomi Indonesia terus mengalami inflasi year on year (yoy). Ketiga; gaji pokok jabatan hakim sama dengan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa, dan tunjangan jabatan hakim tidak berubah selama 12 tahun, mengakibatkan penghasilan jabatan hakim menurun drastis ketika pensiun padahal jabatan hakim lebih besar dibanding Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa.

Tata urutan itu menunjukan gaji dan tunjangan jabatan hakim tidak mencerminkan tanggung jawab dan beban kerja jabatan hakim sebagai penegak keadilan dalam tata pengadilan di Republik. Namun ketika di telaah lebih dalam ternyata yang menyebabkan alasan ribuan hakim bertindak karena kondisi ekonomi hakim. Untuk gaji dan tunjangan jabatan hakim sesuai kondisi ekonomi hakim atas tanggung jawab dan beban kerja jabatan hakim, revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.

Tulisan ini berfokus pada batasan homo economicus: atas kenaikan gaji dan tunjangan kantor hakim/jabatan hakim.

Homo Economicus

Melalui daya nalar yang selalu keruh, dengan mudah ditemukan kata Latin homo, yang berarti manusia/orang. Fisolog yang paling ahli pun mungkin tidak tahu tepat berapa ribu tahun silam kata Latin homo, itu mulai digunakan. Lalu kata Latin economicus disebut-sebut berasal dari kabut masa silam, meskipun cukup pasti turunan dari kata Yunani oikonomicus. Kata Yunani oikonomicus itu pernah dipakai filosof Yunani yang bernama Xenophon yang hidup sekitar tahun 430-354 SM, sebagai judul salah satu karya tulisnya, OIKONOMIKO∑. Kata oikonomicus di situ hanya berarti tata pengolahan ladang, dan menggarap ladang memang mata-pencaharian orang-orang biasa pada zaman itu di Yunani. Karya OIKONOMIKO∑ itu tertulis dalam format dialog Sokratik, berisi perbincangan imajiner antara Critobulus dan Sokrates. Di karya OIKONOMIKO∑ itu Sokrates terus kritis bertanya, sampai Critobulus mengerti dengan remang-remang bagaimana cara mengelola ladang agar menjadi sumberdaya yang memenuhi kebutuhan keluarga dan polis (Xenophon 1994). Mungkin dari remangremang itu dikenali akar pengertian ekonomi. Namun remang-remang itu tidak menerangi yang dimaksud homo economicus dalam akar pengertian ekonomi zaman ini. Tahun berganti abad, abad menggulung menjadi milenium.

Selanjutnya dalam lintasan sejarahnya orang pakai istilah homo economicus itu, peristiwa homo economicus seperti tinggal sebatang jarum yang terselip pada tumpukan jerami. Seorang yang bernama Joseph Scumpeter, raksasa sejarah pemikiran ekonomi, begitu sebutanya memberi isyarat bahwa homo economicus mungkin istilah yang diilhami ungkapan L’Economo prudente yang dipakai penulis Italia bernama B. Frigerio di tahun 1629 (Scumpeter 1954: 156). Akan tetapi, ilhami ungkapan itu juga lebih mungkin peranakkan makin banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Asal-muasal sejarah dan asal-usul logis adalah dua hal yang biasa berbeda.

Tapi sebenarnya homo economicus itu? Bagaimana homo economicus sebagai istilah yang berkembang dalam ilmu ekonomi? Sebelum itu, alkiasah, ungkapan homo economicus sering disebut berasal dari peletak dasar ilmu ekonomi modern yang bernama Adam Smith (1723-1790). Tetapi tidak satupun baris dalam halaman The Wealth of Nations (1776) karya Adam Smith menuliskan istilah itu. Ungkapan homo economicus juga rupanya disebut dari karya John Stuart Mill dalam Essays on Some Unsettled Questions of Political Economy (1844 [1836]). Tetapi tidak satupun esai dalam tulisan John Stuart Mill menuliskan istilah itu. Homo economicus juga biasa dikatakan baik oleh kaum terpelajar maupun awam, dalam perdebatan maupun gurauan. Tetapi bagaimana yang ditulis Adam Smith dan John Stuart Mill dalam karya besarnya itu;

“Bukan dari kebaikan hati pemotong daging, peramu minuman, atau tukang roti kita memperoleh makanan kita, tetapi dari rasa cinta diri mereka pada kepentingan diri mereka sendiri. Kita memenuhi kepentingan diri bukan dengan menggerakkkan rasa kemanusiaan mereka, tetapi rasa cinta-diri mereka; dan jangan pernah berbicara kepada mereka tentang kebutuhan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan diri mereka sendiri” (Smith 2000 [1776]: 15).

“Ekonomi-politik… tidak mengkaji seluruh kodrat manusia yang dimodifikasi oleh tata sosial, tidak juga membahas seluruh perilaku manusia dalam masyarakat. Ia berurusan dengan manusia semata-mata hanya jauh ia mahkluk yang berhasrat memiliki harta dan mampu menilai manjurnya sarana yang satu dibanding sarana lain dalam mengejar tujuan itu… [dengan] sepenuhnya menepiskan semua hasrat dan motif lain, kecuali… pengejaran kekayaan…” (Mill 1844 [1836]: 97).

John Stuart Mill tidak pernah menulis bahwa manusia hanyalah mahkluk “pengejar harta”. Mill sedang membatasi kajian ilmu ekonomi. Agar fokus kajian ilmu ekonomi tidak simpang-siur dan tumpang tindih, Mill juga batasi fokusnya pada pola tindakan manusia yang berbeda dari pola-pola tindakan yang menjadi fokus kajian ilmu hukum, sejarah, biologi atau sebagainya. Beginilah Mill menulis:

“Bukan karena ekonom-politik begitu tolol menganggap hakikat manusia sebagai benar-benar demikian [digerakkan hanya oleh nafsu mengejar harta], tapi karena itulah modus kinerja yang secara niscaya perlu ditempuh suatu ilmu… Mengenai perilaku-perilaku manusia di mana kekayaan bukan obyek pokoknya, Ekonomi-Politik tidak berlagak bahwa kajiannya dapat diterapkan. Namun memang ada urusan manusia di mana pencapaian kekayaan merupakan tujuan pokok dan diakui. Hanya dalam urusan inilah EkonomiPolitik menaruh perhatian. Cara yang perlu ditempuh Ekonomi-Politik adalah memperlakukan tujuan pokok itu seolah-olah sebagai satu-satunya tujuan… (Mill 1844 [1836]: 97, 98).

Tidak ada yang ganjil dengan yang ditulis Mill di atas. Rupanya arti oikonomicus sebagai “tata pengelolaan ladang bagi sumber penghidupan keluarga” dalam karya Xenophon hampir dua ribuh tahun berubah menjadi oconomicus dalam arti “tata kelola dan hasrat memiliki harta”. Terhadap rumusan itulah penulis John K. Ingram, misalnya, kritik pada tahun 1888 bahwa apa yang diajukan Mill “tidak menyangkut manusia-manusia riil tapi imajiner – ‘manusia-manusia ekonomi’… yang digagas hanya sebagai binatang-binatang pengejar uang” (dikutip dalam Persky 1995: 222).

Ketika istilah ekonomi-politik (political-economy) menciut menjadi ekonomika (economics) di akhir abad ke-19, dan dalam keruh perdebatan tentang gambaran kodrat manusia, ungkapan manusia ekonomi (economic man) rupanya dipakai raksasa ilmu ekonomi yang bernama Alferd Marshall, memakai istilah economic man dalam karyanya, Principles of Economics, yang terbit tahun 1890 (Marshall 1972 [1890]: 22).2 Homo economicus juga muncul dalam buku Vilfredo Pareto, pemikir Italia, Manuale di economia politica (1906).

Dalam arti tertentu, Mill hanya lebih lanjut menggarap pengertian implisit ekonomi yang diisyaratkan Adam Smith 60 tahun sebelumnya. Begini rupanya jejak kisahnya. Apa yang ditulis Mill di atas jelas menunjukan Mill tidak pernah berpendapat bahwa hakikat manusia adalah mahkluk yang digerakkan hanya oleh pengejaran harta. Namun dari situ pula benih salah-kaprah berkembang menjadi embrio kesesatan. Pada Adam Smith dalam suasana perdagangan yang penuh monopoli, dan di bawah pengaruh pola revolusi ilmu alam yang dibawa-serta oleh pemikiran Isaac Newton (bdk. Hetherington 1983). Smith mencari-cari cara menjelaskan kemakmuran bangsa-bangsa. Smith, juga mengajukan bagaimana masyarakat terbentuk dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Namun dalam urusan kemakmuran material, Smith memberi tekanan pada pentingnya perdagangan bebas antar orang-orang biasa. Kemakmuran tidak ditempuh dengan cara merampas secara paksa, tidak juga dengan mengemis atau beramal, tapi melalui pertukaran dan perdagangan yang menghasilkan dinamika akumulasi kekayaan. Rupanya Smith tidak menulis homo economicus, tapi pertukaran, perdagangan bebas dan akumalasi kekayaan yang penuh monopoli.

Bagaimana masyarakat terbentuk dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Seperti nelayan menangkap ikan, nelayan tentu tidak dapat hidup hanya dengan ikan. Nelayan butuh beras dari petani, pakaian dari penjahit, obat dari dokter, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya tanpa paksaan. Dari situ tercipta berlaksa-laksa pertukaran. Maka setiap manusia/orang kemudianpunya insentif untuk menumpuk barang/jasa yang dapat dipertukarkan. Syaratnya adalah barang yang dipertukarkan sebagai komoditas – artinya sesuatu untuk dijual-belikan. Lalu uang menjadi alat perantara jual-beli. Itu praktis, tapi tidak mengubah pola dasar jual-beli komoditas. Bahkan secara cepat uang dijadikan komoditas, persis seperti barang/jasa lain. Artinya fungsiasal uang kehilangan tujuanya. Silahkan ke bank meminjam uang, maka suka tidak suka diwajibkan untuk Anda membayar bunga pinjaman 10 atau 20 persen. Masing-masing pihak masuk dalam kepentingan diri (self-interest). Adam Smith menyebut dinamika emosional “saling masuk” dalam kepentingan orang lain itu sebagai simpati (sympaty) (Smith 2002 [1759]: 11).

Namun dari situ juga menjadi jelas bahwa self-interest (kepentingan diri) samasekali bukan satu organ tertutup di tengah samudra ketiadaan yang lain, tetapi beroperasi dalam jaring kepentingan-kepentingan lain. Tanpa “masuk” ke dalam kepentingan-diri orang lain, kepentingan diri sendiri tidak akan terpenuhi. Self-interest hanyalah istilah dengan arti mulia ini punya sejarah yang panjang dan pelik, bahkan para filosof Stoa bahas dua milenial lalu.Rupanya Smith mempelajari itu, dan memakainya untuk melukiskan dinamika perdagangan. Seperti dalam kutipan Smith di atas (Smith 2000 [1776]: 15). Ladang Xenophon yang melandasi istilah oikonomikos telah gusur hiruk-pikuk sejarah abad ke-18 dan abad ke-19, yang sibuk mengemban kelanjutan revolusi ilmiah, kemunculan kaum borjuis dan kapitalisme. Tak satupun noktah menunjukan Adam Smith pernah menulis dalam karyanya tentang manusia sebagai mahkluk yang digerakkan olek kepentingan-diri (self-interest). Bahkan Smith tidak berbicara mengenai kodrat manusia dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Tetapi Smith berbicara mengenai perdagangan bebas sebagai jalan menuju kemakmuran bangsa.

Tapi tindakan berdagang tidak dilakukan oleh benda tidak bergerak (batu/benda mati), melainkan oleh manusia. Di sini Smith berhadapan dengan teka-teki: siapakah manusia dalam perdagangan? Istilah kapitalisme juga tidak ada dalam barisan karya besarnya Adam Smith The Wealth of Nations. Istilah kapilisme awal muncul pertama kali dalam karya besarnya Karl Max Das Caoital, sebagai kritik karya besarnya Adam Smith The Wealth of Nations. Atau syarat antropologis apa supaya perdagangan menjadi mungkin dan berkembang?… Tata urutan terbentuk masyarakat dari karya Adam Smith di atas, juga tidak jauh beda dengan tata urutan terbentuk masyarakat yang ditulis Ibnu Khaldun dalam karya besarnya Muqadimah. Tetapi lebih beradab yang tulis Ibnu Khaldun dalam karya besarnya itu. Ibnu Khaldun tentu bukan penganut antropologis.

Sejak abad ke-14 sampai abad ke-19, para cerdik pandai di barat sibuk dengan pertanyaan tentang hakikat/kodrat manusia, tentang siapa sebenarnya manusia. Sebabnya para cerdik pandai di barat mesti menjelaskan perilaku manusia, dalam peristiwa perang maupun damai, dalam peristiwa perdagangan atau ketertundukan. Dalam bayang-bayang perang di Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) menulis teori politik dalam buku Leviathan (1651), dengan meletakkan bahwa kodrat manusia dalam kondisi asali adalah “serigala bagi sesamanya” (homo homini lupus) (Hobbes 1968 [1651]). Tentang eksistensi (tindakan/kegiatan riil manusia) yang ditulis oleh Thomas Hobbes, memunculkan pertanyaan tentang esensi (hakikat/kodrat manusia). Antropologis menemukan labirin gelap atas hakikat/kodrat manusia.

Seperti Anda menyaksikan di depan mata kepala Anda beberapa perampok dewasa membunuh anak-anak kecil. Melihat itu, denyut jantung Anda seperti berhenti, lalu bertanya dalam hati: siapa sesungguhnya hakikat manusia, hingga dengan keji perampok dewasa membunuh anak-anak kecil? Anda seperti menyimpulkan sendiri: hakikat manusia adalah mahkluk pembunuh. Atau suatu hari Anda menyaksikan suami-istri bertengkar kemudian berpisah. Namun suatu hari juga Anda menyaksikan suami-istri bertemu meminta maaf dan saling kembali. Anda terpana, lalu sebuah air sungai seperti mengalir di lorong jiwa-raga, hingga Anda bertanya pada diri Anda: siapakah hakikat manusia sehingga suami-istri mampu mengampuni? Lalu Anda menjawab sendiri bahwa hakikat manusia adalah mahkluk belas-kasih. Cuma, hanya dengan itu Anda menarik kesimpulan bahwa keseluruhan hakikat manusia adalah mahkluk pembunuh atau mahkluk belas-kasih, Anda tersesat.

Mirip seperti itulah teka-teki antropologis yang memburu Adam Smith. Dalam perdagangan yang tumbuh sangat pesat pada waktu itu. Rupanya Smith berimajinasi dengan pengandaian begini: andai saja orang-orang biasa bebas melakukan perdagangan! Smith bahkan punya istilah untuk orang-orang biasa, yaitu “pemotong daging, peramu minuman, dan tukang roti”. Istilah itu bertaburan dari awal sampai akhir dalam karya besarnya itu. Orang-orang biasa, itu adalah pahlawan Smith dalam merumus teori moral dan ekonomi-nya.

Terhadap teka-teki itu Smith menyimpulkan begini: perdagangan dan industri akan maju pesat apabila dalam kinerja perdagangan dan industri manusia bergerak atas dasar kepentingan-diri. Pokok inilah yang lalu diplintir ke sana ke mari untuk apa saja yang bahkan berkebalikan degan garis pemikiran Smith. Cukup menunjukan Smith tidak pernah menulis bahkan hakikat manusia adalah kepentingan-diri. Dengan kata lain, gagasan “manusia digerakkan oleh kepentingan diri” adalah persyarat antropologis yang diandaikan Smith agar metodologis Smith mampu menjelaskan gejala perdagangan bebas dalam kehidupan ekonomi. Dari situ juga muncul postulat ekonomi dalam proses berpikir. Disadari, itu hanya langkah biasa dalam proses berpikir. Tentu saja, keseluruhan hidup manusia, tidak hanya digerakkan oleh kepentingan-diri (self-interest). Tetapi dari situ juga bermula yang awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia kemudian berubah menjadi klaim tentang keseluruhan hakikat/kodrat manusia.

Sehingga tulisan ini sampai pada kerancuan yang terlibat dalam gagasan homo economicus: apa yang awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia, kemudian diperlakukan sebagai keseluruhan hakikat/kodrat manusia dan agenda bagaimana manusia dan masyarakat seharusnya menjadi. Rupanya terjadi pemahaman keruh jejak homo economicus. Pada 9 Maret 1976, dalam peringatan 200 tahun buku The Wealth of Nations karya Adam Smith, Ronald Coase, penerima Nobel Ekonomi 1991, merumuskan dengan tetap apa yang sudah terjadi: “…ilmu ekonomi selama dua ratus tahun terakhir tidak lebih dari mengepel, …para ekonom hanya mengisi celah, mengoreksi kekurangtepatan, dan mempercantik analisis The Wealth of Nations” (Coase 1994: 74).

Kesejahteraan Kantor Hakim

Benarkah kenaikan gaji dan tunjangan jabatan hakim akan berdampak pada terjaganya kualitas keadilan dalam tata peradilan di Republik. Apapun istilahnya, gaji dan tunjangan pada hakikatnya bentuk harga pada tata nilai uang itu sendiri. Maka, ukuran harga (price) terhadap kenaikan gaji dan tunjungan untuk kesejahteraan kantor hakim/jabatan hakim pada tata peradilan, seperti penyimpangan tanggung jawab dan kinerja jabatan hakim tegakkan kualitas keadilan dalam tata peradilan di Republik, dengan bersikap mogok kerja. Kenapa seperti penyimpangan? Karena berdasarkan fakta di atas: gaji dan tunjangan kantor hakim/jabatan hakim belum disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini karena ekonomi Indonesia terus mengalami inflasi year on year (yoy). Inflasi adalah perpajakan tanpa undang-undang (Milton Friedman (1912 [2006]).

Perangkat utama homo economicus dalam mengejar kepnetingan-diri (self-interest) dan pemenuhan hasrtanya adalah kalkulus rasional. Istilah ‘rasional’ mungkin menakutkan. Namun yang dimaksud rasional dalam homo economicus hanya usaha menimbang prospek keuntungan, kerugian, dan tingkat kepuasan hasrat. Maka rasionalitas homo economicus berisi pilihan sarana paling jitu untuk mencapai tujuan tertentu. Rasional identik dengan prinsip efisien. Soal tujuan yang dikejar “baik” atau “buruk” tidaklah relevan untuk homo economicus. Jadi, rasionalitas hanya menyangkut sarana, bukan tujuan. Cuma, tunggu dulu! Karena sesungguhnya tiada yang khas economicus di sini, sebab cara seperti itu tidak lebih dari langkah biasa dalam semua tindakan bermutu, entah itu tindakan berdagang atau berdoa, belajar ataupun bersenggama (bdk. Polanyi 1977: 26).

Kepentingan-diri dalam homo economicus tidak lagi dalam pengertian self-interest, tapi lebih mendekati arti selfishness (Sen 1977: 317). Ciri keterpusatan pada diri (self-centredness). Artinya, arus perilaku homo economicus berfokus hanya pada konsekuensi tindakan bagi dirinya sendiri (Sen 2002: 80). Diri tidak hanya menunjuk pada pelaku tindakan (yaitu individu), tetapi juga diri sebagai satu-satunya pihak yang paling tahu “kebenaran” hasratnya. Maka baiklah diingat pokok dari John Stuart Mill bahwa ciri economicus terletak dalam aspek tindakan yang terkait dengan “hasrat memiliki kekayaan”, dan bukan dengan segi peraturan tindakan (seperti dalam ilmu hukum), yakni mahkluk aturan. Tapi apa yang dimaksud kepentingan-diri bukan lagi dalam arti klasik, yaitu kepeduliaan terhadap kesejahteraan diri serta lingkungan orang-orang terdekat yang kesejahteraanya terkait pada masyarakat yang hidup dalam wilayah yang sama dengan tindakan individu. Isi hasrat diketahui melalui apa yang dipilihnya – inilah yang disebut revealed preference. Tentu ini logika curang, tetapi homo economicus tidak terlalu peduli dengan logika.

Arti ‘kepentingan-diri’ yang selama ribuan tahun sebelumnya mencangkup kepedulian pada kehormatan, martabat, dan bahkan hidup sesudah kematian, dalam ciri homo economicus mengalami penciutan ke dalam urusan keuntungan material/finansial/uang. Lalu terjadi penciutan lanjut. Karena hasrat dan kepentingan-diri tidak mungkin diukur langsung, homo economicus mengukur dengan harga (price) yang bersedia dibayar bagi pemenuhan hasrat (Robinson 1962: 48-49). Tak ada ukuran nyata yang lebih dapat diterima homo economicus daripada harga (price). Dengan itu juga segera terjadi kolonisasi. Karena obyek hasrat yang menjadi isi kepentingan-diri manusia tidak terbatas hanya pada soal kekayaan, homo economicus menuntut bukan harta yang dikenai harga, tetapi juga berbagai obyek hasrat lain: dari seks sampai kegembiraan, dari keadilan sampai terapi, dari udara sehat sampai karya seni (bdk. Hirshleifer 1985: 53; Fine 1999: 415). Di situlah tertanam benih kolonisasi oleh homo economicus yang mengambil rupa komersialisasi berbagai bidang kehidupan.

Bagi homo economicus, kemampuan membayar harga (daya-beli) adaalah kunci yang mengantarkan obyek hasrat yang menjadi isi kepentingan-diri ke seluruh isi bidang kehidupan. Tapi homo economicus hanya bisa punya daya-beli jika mampu menumpuk pundi-pundi dengan menjual-belikan apa saja yang dapat dikenai harga. Dengan itu tercipta syarat kelangkaan (scarcity), bagian pengertian sentral ‘ekonomi’. Inilah yang disebut postulat kelangkaan (scarcity postulate) (Polanyi 1957: 246). Inilah bentuk homo econimucus yang sering disalahpahami orang-orang yang mengaku diri sebagai terpelajar dan sering fanatik dengan keyakinan bahwa homo econimucus mendasari semua perilaku manusia dan akan menjadi solusi bagi penataan Indonesia mesti menjadi. Itulah gejala self-fulfilling prophecy.

Semakin percaya dan menghayati ciri-ciri homo econimucus, semakin homo econimucus akan tercipta dalam diri manusia. Ketika tercipta dalam diri manusia menjadi kawanan hewan, homines economici bahkan tidak punya tujuan pasti selain terus-menerus melakukan pembenaran diri. Tempatkan keadilan pada hak asasi (human rights), bukan pada daya-beli. Untuk tata peradilan di Republik tidak menganut prinsip keramat “pembayar tertinggi adalah pemenang”. Tapi karena ada keadilan dalam hak asasi (human rights). Bagi manusia yang ingin memperoleh jabatan hakim jangan sekali-kali mencari kekayaan atas nama hukum, karena gaji dan tunjangan jabatan hakim telah diatur oleh pemerintah, dan hakim juga mempunyai sumpah jabatan yang murni untuk mengabdi kepada masyarakat demi terciptanya sebuah negara.masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan pembukaan UUD 1945.

Dengan itu, perkenankan tulisan ini mengajukan argumen: kualitas keadilan pada tata pengadilan tidak tercipta dari hasil asumsi homo economicus bagi penataan Indonesia mesti menjadi. Mahkluk ekonomi yang melahirkan ilmu ekonomi, tetapi ilmu ekonomi yang menciptakan mahkluk ekonomi: mahkluk aturan di bidangan kesejahteraan ekonomi pada kantor hakim/jabatan hakim. Di sini sebaiknya tulisan ini berhenti, “perayaan atas batas ilmu”.

Sumber Relevan

Bahan Extension Course Filsafat dan Budaya dengan tema “Filsafat Uang”, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 5 Juni 2015

B. Herry Priyono, 2017 Homo Economicus

Bab II buku itu, ketika menjelaskan lingkup studi ilmu ekonomi, Marshall menulis begini: “In all this, they deal with man as he is, not with an abstract or economic man” (Marshall 1982 [1890]: 22).

Hirshleifer, Jack (1985) ‘The Expanding Domain of Economics’, American Economic Review, Vol. 75, No. 6, Desember, pp. 53-68.

Hont, Istvan (2010) Jealousy of Trade: International Competition and the Nation-State in Historical Perpective, Cambrige University Press.

Kompas.com, 2024 ribuan-hakim-bakal-mogok-kerja-protes-gaji-dan-tunjangan-12-tahun-tak-naik

Lihat buku Adam Smith, (1759 sampai 1776) The Theory of Moral Sentiments sampai The Wealth of Nations, karya Smith yang menjadi peletak dasar ilmu ekonomi modern di eropa.

Penggalian asal-usul istilah homo economicus, Edward O’Boyle menemukan pemakaian istilah homo economicus dalam karya Maffeo Panteleoni, Principii di Economia Pura (1889). Tetapi juga ditemukan indikasi kuat bahwa istilah itu telah digunakan sebelumnya dalam beberapa literatur ekonomi berbahasa Jerman di paro abad ke-19 (O’Boyle 2010: 2).

Polanyi, Karl (1997) The Livelihood of Man (ed. H. W. Pearson), New York: Academic Press.

Polanyi, Karl; Arensberg, C.; Pearson, H. (eds.) (1957) Trade and Market in the Early Empires: Economies in History and Theory, New York: The Free Press.

Robinson, Joan (1962) Economic Philosophy, London: Penguin.

Rogers, Kelly (ed.) (1997) Self-Interset: An Anthology of Philosophical Perspevtives, London: Routledge.

Sen, Amartya (1977) ‘Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundation of Economic Theory’, Philosophy and Public Affairs, Vol. 6, No. 4, pp. 217-344.

Sen, Amartya (2002) Rationality and Freedom, Cambridge, MA: Harvard University Press.

Schumpeter, Joseph A. (1954), History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo(Mahasiswa Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Kendari).

Kategori
Opini

Terima Politik Uang: Bukti Jual Harga Diri

Opini – Rasa malu harus terpatri dalam diri masyarakat sebagai pemilih rasional dan berhati mulia menilai bujukan dan rayuan para calon Bupati (cabup) kepulauan Sula.

Bujukan dan rayuan itu bukan hanya menggunakan janji kampanye semata, melainkan juga menggunakan uang untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih di tempat pemungutan suara.

Pelaku terima politik uang ini bukan hanya selalu terjadi pada masyarakat yang diistilahkan masyarakat awam. Namum juga sering terjadi pada masyarakat bergelar pendidikan perguruan tinggi.

Berbagai alasan bisa dimunculkan, alasan keadaan, dan kesempatan. Tetapi kenapa politik uang dilarang? Dari segi peraturan merupakan tindakan korupsi jenis suap menyuap.

Dari segi politik merupakan tindakan kejahatan demokrasi. Dari segi kemanusiaan merupakan tindakan jual harga diri dengan uang.

Karena itu, harapannya masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih calon bupati yang bertanggung jawab dan berintegritas memandu pembangunan daerah sula menjadi daerah yang maju dari segi pembangunan infrastruktur dan ruang hidup ekonomi masyarakat yang sehat untuk lima tahun kedepan.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kendari

Kategori
Opini

Bermurah Hatilah Dalam Ikhtiar Menuntut Hak Kepada Pemimpin

OPINI – Dalam surat Al-Alaq ayat 1 disebutkan perintah untuk iqra yaitu membaca dengan menyebut nama Tuhan.

Baca! Tersebut sebuah buku “THE HUMAN STORY” (Sejarah Kita, dari Zaman Batu Hingga Kini) tentang tema kebudayaan pra aksara pada “Zaman Batu”. Disebut “Zaman Batu” karena hasil-hasil kebudayaan pada masa itu terbuat dari batu.

Sehubungan dengan buku di atas, terdapat sebuah berita 10 September 2023 yang beredar di media online dengan judul “Tambang dan Peradaban di Kepulauan Sula” Mengutip pengertian dan arti dalam judul berita bahwa “Tambang adalah tuntutan peradaban; menolak tambang berarti menghentikan peradaban itu sendiri (transtimur.com).

Keterangan tersebut menarik untuk ditelaah, karena itu kasus dari kebanyakan orang-orang kepala batu Dibuat dari tanah-air pada masa kini yang kadang-kadang masih tidak menerima keterangan yakin tanpa bukti materil (bukti empiris) pada “Zaman Logam” yang meliputi tembaga, perunggu, dan besi. Dan kasus tersebut bukan kasus baru terjadi pada masa kini.

Masih dalam berita yang sama, untuk menggali logam didalam bumi diperlukan tebang pohon. Tebang pohon untuk menggali logam didalam bumi untuk melangsungkan kehidupan pembangunan peradaban materil dimaksudnya “Menolak tambang berarti peradaban”, sama halnya mengatakan kami sedang melakukan perbaikan di bumi.

Kasus dari kebanyakan orang-orang semacam itu telah diterangkan (QS. Al-Baqarah: 11-12) yang artinya;

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.

Kasus ijon politik melalui perizinan tambang (logam), Kasus korupsi pertambangan (logam), Kasus memakan riba hasil jual beli tambang (logam) Merupakan gambaran sesat yang nyata para pemimpin di negeri ini yang bersumpah atas nama Tuhan.

Kasus itu sudah menjadi rahasia publik sehari-hari. Lantas saran dalam tulisan ini bagaimana? untuk menjawab pertanyaan itu maka boleh buka dan baca tulisan pada linkhttps://www.linksatu.com/post/bijih-besi-dan-ekonomi-masyarakat-kepulauan-sula.

Tentang Pemimpin

Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Menuntut hak keadilan dan kemakmuran kepada pemimpin di negeri ini adalah kewajiban bagi semua anak bangsa yang merasa dizolomi para pemimpinnya di setiap daerah. Namun, bermurah hatilah pada saat kamu menuntut hakmu, dan semoga kamu yang dituntut diberikan rahmat Allah.

Lantas bagaimana dengan keterangan (QS. Al-Baqarah: 7)

“Allah SWT telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

Sehingga untuk selalu senantiasa terjaga hati kita dijalan ikhtiar maka selalu ingat do’a Rasulullah Saw;

“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Sehubungan dengan semua itu maka semoga kita selalu bermurah hati dalam menuntut hak kita kepada pemimpin di negeri ini. Dan tetap tersenyum, jangan putus asa.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kendari.

Kategori
Opini

Asal Usul Nilai Tukar Mengambang Dan Praktik Spekulasi Dalam Sistem Keuangan

OPINI – Untuk menghancurkan suatu bangsa atau negara, maka hancurkan ingatan (sejarah) anak bangsa. Tetapi maksud dan tujuan tulisan ini sebagai wujud ikhtiar untuk mengajak anak bangsa kembali ingat (sejarah) terkhusus dalam sistem keuangan internasional, yang sehingga berdampak pada kita abab-21 kini.

Pertanyaan fundamental dalam nilai (aksiologi) adalah bahwa apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai? Benda dimaksud emas. Dan dalam tulisan ini nampak terbaca emas itu bernilai, terbukti penilaian standar emas sebagai harga tetap untuk digunakan menentukan nilai mata uang kertas. Misal, jika Amerika Serikat secara perhitungan menetapkan harga emas sebesar $500 per ons, maka nilai dolar akan menjadi 1/500 ons emas. Penilaian standar emas dimaksud di sini sebagai harga tetap.

Daya tarik dan keuntungan standar emas adalah bahwa standar emas menghilangkan kendali atas penerbitan mata uang kertas di tangan manusia yang tidak sempurna. Dengan kuantitas fisik emas yang menjadi batasan penerbitannya, masyarakat berpotensi dan dipastikan terhindar dari inflasi. Terminologi inflasi adalah kenaikan harga-harga dari tahun ke tahun dalam sektor ekonomi barang dan jasa.

Seperti diketahui standar emas abad-21 kini tidak digunakan oleh pemerintah mana pun. Inggris berhenti menggunakan standar emas pada tahun 1931, dan Amerika Serikat berhenti mengikuti standar emas pada tahun 1933, dan akhirnya meninggalkan sisa-sisa sistem tersebut pada tahun 1973. Standar emas sepenuhnya digantikan mata uang fiat, istilah untuk menggambarkan mata uang yang digunakan karena perintah pemerintah, atau mata uang fiat, bahwa mata uang tersebut harus diterima sebagai alat pembayaran. Misal, di Amerika Serikat, dolar adalah mata uang kertas, dan di Nigeria, naira adalah mata uang kertas.

Kenapa Inggris berhenti menggunakan standar emas pada tahun 1931? kenapa Amerika Serikat berhenti mengikuti standar emas pada tahun 1933? Untuk jawab pertanyaan ini, maka tentu ada sejarah singkatnya. Sehingga dari sejarah singkat ini kita akan mengetahui asal usul nilai tukar mengambang dan praktik spekulasi dalam sistem keuangan. Yang abad-21 kini kita sebut fluktuasi nilai tukar.

Dekade Sebelum Perang Dunia I

Pada dekade sebelum Perang Dunia I, perdagangan internasional dilakukan berdasarkan apa yang kemudian dikenal sebagai standar emas klasik. Negara-negara dengan surplus perdagangan mengalami kenaikan cadangan emas mengumpulkan emas sebagai pembayaran atas ekspor barang dan jasa. Sebaliknya, negara-negara dengan defisit perdagangan mengalami penurunan cadangan emas disebabkan emas mengalir keluar dari negara-negara sebagai pembayaran atas impor barang dan jasa. Dalam sistem ini, perdagangan antar negara diselesaikan dengan menggunakan emas fisik.

Selama sebagian besar periode 1717 hingga 1931, Inggris menerapkan standar emas formal atau de facto. Ini berarti bahwa setiap pemegang uang kertas yang diterbitkan oleh Bank of England dapat menunjukkan uang kertas tersebut di Bank dan meminta pembayaran segera dalam bentuk emas batangan dengan nilai tukar tetap. Di bawah rezim ini, Bank menetapkan suku bunga untuk memastikan bahwa cukup banyak emas yang ditarik ke London untuk mempertahankan konvertibilitas. Artinya selama 214 tahun, Inggris menerapkan standar emas dengan nilai tukar tetap, tetapi tekanan ekonomi akibat depresi ekonomi di Inggris memaksa Inggris meninggalkan standar emas pada tahun 1931.

Para pendukung standar emas berpendapat bahwa standar emas akan menahan pemerintah untuk tidak mencetak mata uang kertas, sehingga mencegah inflasi. Akan tetapi, para penentang, seperti ekonom John Maynard Keynes, menegaskan bahwa standar emas menyebabkan suku bunga yang tidak sesuai untuk tujuan ekonomi lainnya, seperti mengurangi pengangguran.

Sehingga diketahui terdapat dua alasan kenapa Inggris berhenti menggunakan standar emas pada tahun 1931: pertama, tekanan ekonomi akibat depresi ekonomi, kedua, ekonom John Maynard Keynes menentang penggunaan standar emas menyebabkan suku bunga yang tidak sesuai untuk tujuan ekonomi, dan menyebabkan tidak sesuai mengurangi pengangguran.

Standar emas memiliki sejarah yang tiada duanya dibandingkan cadangan aset lainnya karena standar emas mempunyai pengaruh unik terhadap penawaran dan permintaan (hukum ekonomi). Pendukung standar emas masih melekat pada masa lalu ketika standar emas berkuasa, namun masa lalu standar emas juga mencakup kejatuhan yang harus dipahami untuk menilai masa depan standar emas dengan tepat.

Masa lalu tersebut berdasarkan pada pernyataan Presiden Herbert Hoover yang terkenal pada tahun 1933 bahwa “Kami memiliki emas karena kami tidak dapat mempercayai pemerintah,” dalam pernyataannya kepada Franklin D. Roosevelt. Pernyataan ini membuktikan salah satu peristiwa paling kejam dalam sejarah keuangan Amerika Serikat tahun 1929 yang ditandai dengan krisis keuangan Amerika Serikat tahun 1929.

Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934

Pada tahun 1933 hadir Undang-Undang Perbankan Darurat tahun 1933. Undang-Undang Perbankan Darurat tahun 1933 adalah sebuah undang-undang yang disahkan di tengah-tengah Depresi Ekonomi Amerika Serikat yang mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan dan memulihkan kepercayaan pada sistem perbankan Amerika Serikat, yang memaksa semua warga Amerika Serikat untuk mengkonversi koin emas, batangan, dan sertifikat mereka menjadi dolar Amerika Serikat.

Pada tahun 1934, Presiden Roosevelt menandatangani Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934, yang mengalihkan kepemilikan emas dari pemegang swasta ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Meskipun Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934, berhasil menghentikan arus keluar emas selama Depresi Ekonomi Amerika Serikat, Undang-Undang Cadangan Emas tahun 1934 tersebut tidak mengubah keyakinan pendukung standar emas, yaitu orang-orang yang selalu percaya pada stabilitas standar emas sebagai sumber kekayaan.

Kemudian, pada tahun 1934, pemerintah Amerika Serikat melakukan revaluasi standar emas dari $20,67 per ons menjadi $35 per ons, meningkatkan jumlah uang kertas yang diperlukan untuk membeli satu ons emas guna membantu meningkatkan perekonomian pemerintah Amerika Serikat. Akibat revaluasi standar emas dalam wakru sama devaluasi dolar secara dramatis langsung terjadi. Harga emas $35 per ons yang lebih tinggi ini meningkatkan konversi standar emas menjadi dolar Amerika Serikat, sehingga secara efektif memungkinkan Amerika Serikat untuk menguasai pasar penjualan emas. Produksi emas melonjak sehingga pada tahun 1939 jumlah emas cukup untuk menggantikan seluruh mata uang kertas global yang beredar. Kita tahu bahwa hal ini terjadi pada Perang Dunia II.

Perjanjian Bretton Woods

Ketika Perang Dunia II akan segera berakhir, negara-negara Eropa bertemu untuk mengembangkan Perjanjian Bretton Woods, yang akan menjadi kerangka kerja pasar mata uang kertas global hingga tahun 1971. Dalam sistem Bretton Woods, semua mata uang kertas nasional dinilai dalam kaitannya dengan mata uang kertas nasional. Dolar Amerika Serikat, yang menjadi mata uang cadangan dominan. Dolar Amerika Serikat, pada gilira dolar Amerika Serikat, dapat dikonversi menjadi emas dengan kurs tetap $35 per ons. Sistem keuangan global terus beroperasi berdasarkan standar emas, meskipun secara tidak langsung. Perjanjian Bretton Woods menghasilkan hubungan yang menarik antara standar emas dan dolar Amerika Serikat sebagai cadangan dominan dari waktu ke waktu.

Dalam jangka panjang, penurunan dolar umumnya berarti kenaikan harga emas. Dalam jangka pendek, hal ini tidak selalu benar, dan hubungan tersebut bisa jadi lemah, seperti yang ditunjukkan grafik harian satu tahun berikut ini:

Pada gambar di atas, perhatikan indikator korelasi yang bergerak dari korelasi negatif yang kuat ke korelasi positif dan sebaliknya. Korelasinya masih bias ke arah sebaliknya (negatif pada studi korelasi), sehingga ketika dolar naik, emas biasanya turun. Pada akhir Perang Dunia II, AS memiliki 75% emas moneter dunia dan dolar adalah satu-satunya mata uang yang masih didukung langsung standar emas.

Namun, ketika dunia kembali pulih setelah Perang Dunia II, cadangan emas Amerika Serikat terus menurun karena uang mengalir ke negara-negara yang dilanda perang dan tingginya permintaan impor. Lingkungan inflasi yang tinggi pada akhir tahun 1960an menyedot sedikit tekanan dari standar emas.  Dari tahun 1968 hingga 1971, hanya bank sentral yang dapat melakukan perdagangan dengan Amerika Serikat dengan harga $35 per ounce. Dengan menyediakan kumpulan cadangan emas, harga pasar emas dapat dijaga agar tetap sejalan dengan tingkat paritas resmi. 

Dari tahun 1968 hingga 1971, hanya bank sentral yang dapat melakukan perdagangan dengan Amerika Serikat dengan harga $35 per ounce. Dengan menyediakan kumpulan cadangan emas, harga pasar emas dapat dijaga agar tetap sejalan dengan tingkat paritas resmi. Pada bulan Agustus 1971, Presiden Amerika Serikat Nixon memutuskan konvertibilitas langsung dolar Amerika Serikat menjadi emas. Dengan keputusan ini, pasar mata uang kertas internasional, yang semakin bergantung pada dolar Amerika Serikat sejak berlakunya Perjanjian Bretton Woods, kehilangan hubungan formalnya dengan standar emas. Dolar Amerika Serikat, dan sistem keuangan global yang ditopang secara efektif, memasuki era uang kertas.

Saat ini tidak ada negara yang menggunakan standar emas. Seperti disebutkan di atas, Inggris menghentikan standar emas pada tahun 1931, dan Amerika Serikat melakukan hal yang sama pada tahun 1933. Pada tahun 1971, Amerika sepenuhnya memutuskan konvertibilitas langsung dolar menjadi emas. Dengan kata lain, tidak ada negara yang menyokong mata uangnya dengan emas. Di Amerika Serikat, mata uang kertas didukung oleh pemerintah dan kemampuan mata uang kerta untuk terus menghasilkan pendapatan Amerika Serikat.

Perjanjian Brussel

Sejak berlakunya Perjanjian Bretton Woods, kehilangan hubungan formalnya dengan standar emas. Dan tanggal 12 maret 1973 berdasarkan Perjanjian Brussel (perjanjian Eropa yang menggabungkan tiga badan eksekutif Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa, Komunitas Energi Atom Eropa (Euratom) dan Masyarakat Ekonomi Eropa ke dalam struktur kelembagaan tunggal) maka semua kaitan nilai terhadp standar US$ diputuskan untuk ditinggalkan. Hal ini membuat mata uang yang utama tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas.

Mulailah yang kemudian dikenal dengan asal usul nilai tukar mengambang, yang beresiko penuh dengan ketidakstabilan mata uang kertas dalam sistem keuangan internasional. Hal ini mengakibatkan ketika ada mata uang kertas yang mengalami revaluasi (penilaian kembali) terhadap dolar Amerika Serikat maka pihak investor terus berlomba untuk melakukan penjualan kepemilikan akan standar US$ dengan menggunakan nilai tukar tetap (kurs tetap) yang juga ditawarkan pada mata uang yang tersisa yang masih ada dalam sistem keuangan internasional.

Dalam pernyataan ketua Federal Reserve Amerika Serikat Suku bunga akan sangat disesuaikan dengan keinginan dari pasar dengan perhitungan bahwa suku bunga yang lebih tinggi akan bisa membuat inflasi bisa menjadi lebih terkendali. Hal ini juga bisa berdampak lain, yaitu munculnya kegiatan spekulasi di dalam dunia keuangan yang modern.

Pada John Maynard Keynesian dikatakan bahwa dengan sistem yang baru ini akan membuat pemerintah di suatu negara bisa melakukan penyesuaian akan kebijakan moneter dan fiskal. John Maynard Keynes yang menentang penggunaan standar emas. John Maynard Keynes juga menentang suku bunga yang tidak sesuai untuk tujuan ekonomi, dan suku bunga menurut John Maynard Keynes tidak sesuai untuk mengurangi pengangguran. Namun, John Maynard Keynes juga perpaham monetaris system yang mendukung adanya bunga bank dalam sistem keuangan internasional. Jhon Maynard Keyness, menyatakan motif seseorang memegang mata uang, yaitu :

 “The three divisions of liquidity-preference which we have distinguished above, may be defined as depending on (i) the transactions-motive, i.e. the need of cash for the current transaction of personal and business exchanges; (ii) the precautionary-motive, i.e. the desire for security as to the future cash equivalent of a certain proportion of total resources; and (iii) the speculativemotive, i.e. the object of securing profit from knowing better than the market what the future will bring forth.” (“Tiga pembagian preferensi likuiditas yang telah kita bedakan di atas, dapat didefinisikan tergantung pada (i) motif transaksi, yaitu kebutuhan uang tunai untuk transaksi pertukaran pribadi dan bisnis saat ini; (ii) motif kehati-hatian, yaitu keinginan akan rasa aman sehubungan dengan setara kas di masa depan dengan proporsi tertentu dari total sumber daya; dan (iii) motif spekulatif, yaitu tujuan mendapatkan keuntungan dengan mengetahui lebih baik dari pasar apa yang akan terjadi di masa depan.”).

Pernyataan John Maynard Keynesian, cukup jelas bahwa mata uang selain berfungsi untuk alat tukar menukar dan tabungan, juga merupakan sebuah komoditas yang berfungsi untuk memberikan keuntungan bagi pemiliknya.

Sehingga dapat diketahui bahwa asal usul nilai tukar mengambang dan praktik spekulasi dalam sistem keuangan internasional dimulai dari tahun 1931, tahun 1933 hingga abad-21 kini dalam sistem keuangan internasional, karena mata kertas beredar tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas.

Kita juga dapat ketahui bahwa karena mata uang kertas beredar tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas, sehingga nilai tukar mengambang berfungsi terbuka di pasar, tempat spekulasi, bersama dengan kekuatan permintaan dan penawaran, mengendalikan harga. Struktur nilai tukar mengambang berarti bahwa perubahan harga mata uang jangka panjang menunjukkan kekuatan ekonomi komparatif dan perbedaan suku bunga di berbagai negara. Hal ini juga memunculkan apa yang disebut Teori Nilai Waktu Uang (TNWU). Teori Nilai Waktu Uang (TNWU) dibuat oleh William R. Lasher yang sepepahaman dengan Jhon Maynard Keyness.

Kemduian, sejak negara-negara meninggalkan standar emas, target lain untuk kebijakan moneter mencakup jumlah uang aktual dalam sistem keuangan (1986 hingga 1979) atau mempertahankan nilai tukar tertentu; misalnya, selama dan setelah Perang Dunia II, dan di bawah Mekanisme Nilai Tukar (1990 hingga 1992). Saat ini, tujuan Bank adalah menjaga inflasi, yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) melalui kebijkan suku bunga Bank dalam sistem moneter (sistem keuangan).

Indonesia Abad-21

Dalam konteks kita Indonesia abad-21 kini sebenar terjebak dalam nilai tukar tetap dolar Amerika Serikat (kurs tetap AS) dari era nilai tukar mengambang dan prakatik spekulasi dalam sistem keuangan internasional tersebut. Karena mata uang kertas dolar Amerika Serikat sebagai cadangan devisa Indonesia tidak lagi memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil sebagai harga tetap yakni standar emas.

Bahkan langkah alternatif Indonesia untuk keluar dari jebakan tersebut dengan wacana revaluasi (penilaian kembali) melalui merode redominasi nilai tukar dan penggunaan mata uang digital/Cripto (Bitcoin dan JPM Coin) yang sesungguhnya tidak menjawab akar masalah, justru Indonesia lebih terjebak dalam sistem keuangan internasional abad-21 kini.

Kemudian, kenaikan harga-harga barang dan jasa selalu dinisbatkan pada sebuah kata “penyesuaian” tanpa patokan dasar intrinsiik yang riil. Sebuah kata “penyesuaian” telah menjadi kata baku politis yang tidak ada kaitanya dengan masalah kehidupan yang riil dalam sosial ekonomi masyarakat yang riil (kenyataan yang nyata).

Padahal hari ini sebenar dibutuhkan masyarakat adalah masyarakat lebih gembira manakala harga bahan pokok murah, Bahan Bakar Minyak (BBM) disubsidi, kuliah gratis, mudah mencari kerja, memperhatikan para petani dengan tidak mengimpor bahan pangan, peduli para nelayan dan lain sebagainya. bukan angka-angka persen Indeks Harga Konsumen (IHK) yang tiap tahun dilaporkan Badan Pusat Statsitik (BPS), laporan inflasi dan suku bunga Bank Indonesia (BI) dari tahun ke tahun yang tidak memberikan manfaat kuntungan dunia-akhirat kepada masyarakat. Contoh kasus; dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah tidak pernah stabil terhadap nilai tukar dolar AS.

Sehubungan dengan contoh kasus, jika kita cermat dan teliti mendalam alur sejarah tersebut, maka kita dapat mengerti bahwa sesungguhnya bukan pada persoalan standar emas, melainkan pada persoalan praktik spekulasi dan suku bunga Bank dalam sistem keuangan internasional. Maka, untuk perbaikan fiskal dalam perekonomian Indonesia, dimulai dari perbaikan sistem dan kebijakan nilai tukar tetap rupiah yang memiliki patokan pada suatu cadangan intrinsiik yang riil. Dengan demikian masyarakat terhindar dari praktik spekulasi dan suku bunga Bank dalam sistem keuangan. Karena praktik spekulasi dan suku bunga Bank dalam sistem keuangan termasuk dalam kategori gharar atau masyir dan riba dilarang dalam ekonomi dan bisnis Islam.

Referensi

https://www-investopedia-com.translate.goog/ask/answers/09/gold-standard.asp _x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

David Kynaston, Hingga Pasir Terakhir Waktu: Sejarah Bank Inggris 1694–2013 , 2017.

Steven Durlauf dan Lawrence Blume (eds), Kamus Ekonomi Palgrave Baru , 2008, Vol 1 hal. 340-348.

Lihat pengarahan Perpustakaan untuk sumber dan informasi lebih lanjut Bank of England: Sejarah, Peran, dan Perdebatan Kebijakan Saat Ini , 6 Januari 2020.

Badan Pusat Statistik Nasional (BPS-N) 

Muchdarsyah, S. (1991). Uang dan Bank. Jakarta: Rineka Cipta.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).

Kategori
Kepulauan Sula Opini

Tikus, Tikus Kantor: Apakah Banyak di Sula?

Opini – Tulisan ini berawal dari pertanyaan dan jawaban yang sok tahu dan menjadi tahu, bukan dari keinginan. Dan bukan berawal dari tahu dan tempe. Karena tempe tidak tepat atau cocok menganalogikan sebuah bangsa. Pada waktu malam hari tepat pukul ½ malam waktu Indonesia tenggara bagian timur di hari senin, saya bersama teman saya berinisial NR, seorang teman yang saban hari saya sebut teman rasa saudara. Ingat sekali lagi saudara bukan saudagar.

Kami berdua naik motor yamaha jupiter mx king untuk jalan-jalan di malam hari dengan maksud dan tujuan untuk membeli sebungkus kopi pabrikan alias sebungkus kopi yang sudah diproses untuk siap dimasak dengan air dan disiap dikonsumsi kedalam perut. Sebungkus kopi itu adalah kopi kapal api.

Dalam perjalan mengendari motor, setelah kembali membeli sebungkus kopi kapal api, teman saya yang rasa saudara itu bertanya kepada saya, karena nama saya sering disapa cius, walaupun nama lengkap bukan itu, “cius, apa itu istilah tikus kantor?” setelah mendengar pertanyaan dari teman saya itu, seketika saya pun terdiam sebelum menjawab, masih dalam perjalan kembali kami berdua dari membeli kopi kapal api. Masih suasana mengendarai motor, dengan sok tahu, saya pun menjawab “untuk menjawab pertanyaan itu, perlu ada kajian filosofi, historis, dan yuridis”. Hahahhaha !!! sedikit aneh, namun hal itu dianggap kami berdua adalah hal yang perlu untuk diketahui.

Dari membeli sebungkus kopi kapal api, tadi, Alhamdullah kami berdua pun tiba di sekretariat organisasi kemahasiswaan. Namun, setelah pertanyaan dan jawaban itu, tidak ada lagi penjelasan berikutnya pada malam hari di hari senin itu juga, hanya istilah-istilah yang saya sebut sebelumnya.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menurut saya menarik untuk dibaca tentang sejarah ushul fiqh. Namun dalam tulisan ini saya tidak menjelaskan bagaimana sejarah ushul fiqh. Namun ada sebuah kalimat dalam tulisan artikel tentang ushul fiqh, yang menyebabkan saya sedikit lama merenung, bingini kalimatnya “istilah itu bukan ilmu, tapi apa yang dimaksud istilah itu.” Sehingga istilah itu di sini ialah tikus kantor.

Sebagaimana yang saya tulis sebelumnya bahwa tulisan ini berawal dari pertanyaan dan jawaban yang sok tahu dan menjadi tahu. Hahahaha !!! namun dengan ucapan Alhamdulillah dari pertanyaan itu membuat jiwa saya terpanggil untuk membaca maksud kenapa ada istilah tikus kantor, itu. Iya harus membaca terlebih dahulu sebelum berbicara atau menulis, membaca itu wajib sebagaimana firman Allah “Iqro” yang artinya “bacalah.”

Jika sedikit ditulusuri istilah ini maka kita dapat menemukan dalam sebuah lagu dari seorang penyanyi legendaris berkebangsaan Indonesia bernama Iwan Fals “Tikus-Tikus Kantor”, hahahaha maaf! Sedikit berseni politik. Tetapi memang istilah ini dimaksudkan kepada kejahatan para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum melalui sistem demokrasi berdasarkan pembukaan UUD 1945.Namun jauh sebelum istilah Tikus Kantor, itu menjadi sebuah seni lirik lagu, sudah terdapat dalam sebuah buku dari seorang penulis melayu berkebangsaan indonesia ialah adalah Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf Modern”.

Menarik untuk dibaca sebab buku tersebut, menguraikan maksud istilah Tikus sebagaimana seorang pencuri. “keinginan adalah awal dari penderitaan”. Sekali lagi keinginan.

Pada halaman 239, Buya Hamka menulis dalam bukunya Harta Baik dan Harta Buruk. Setelah saya menelaah dengan sangat hati-hati pada kata dan kalimat yang ditulis Buya Hamka, akhirnya saya menemukan dua kata dalam satu kalimat yang ditulis oleh Buya Hamka pada halaman 242 dalam bukunya yakni laksana tikus. Dua kata ini mengiatkan saya untuk kembali sebelumnya dengan pertanyaan dari teman saya yang rasa saudara itu.

Begini penjelasan lengkap dari laksana tikus. Pandai sekali nenek-moyang memilih perkataan “sau-dagar” bagi orang yang pintar berjual-beli, sebab “su” artinya seribu, dan “dagar” artinya tipu. Sebagaimana “sau-dara” artinya seribu cinta. Kecintaan kepada harta sehingga sampai menyembah harta, telah menimbulkan agama sendiri, di luar dari agama Islam dan Kristen, di luar dari agama Brahmana dan Budha, yaitu agama yang di wahyukan oleh harta itu sendiri, mana yang halal kata harta, walaupun haram kata agama, diikut juga orang wahyu harta, larangan harta itu juga yang dihentikan orang. (halaman 242).

Terbaliklah aturan masyarakat lantaran harta, puji dan sanjung bisa dibeli dengan harta. Orang junjung tinggi seorang berharta lantaran hartannya, meskipun dia seorang pencuri halus, laksana tikus mencuri daging tumit orang yang tidur nyenyak tengah malam. Dihembusnya supaya dingin, kemudia digigitnya, setelah terasa pedih oleh orang yang tidur itu, digosoknya dengan lidahnya dan dihembusnya pula, sehingga hilang pedih karena dihembus. Setelah orang yang dikena gigit itu bangun pagi-pagi, dan dicobakannya menginjakkan kakinya ke tanah, barulah dia tahu bahwa dia kecurian. Di balik itu, orang kaya budi, miskin uang, tidak ada harganya dalama masyarakat. (halaman 242).

Setelah menelaah dengan sangat hati-hati hasil bacaan, maka seketika saya pun merenung dan bertanya apakah laksana tikus itu merupakan tikus kantor yang diistilahkan kepada kejahatan pejabat para wakil rakyat di negeri ini. Apakah laksana tikus itu banyak di Kepulauan Sula. Maka Haqul Yakin pasti saudara sebagai pembaca yang budiman mengerti-mengetahuinya. Imam Abu Ali Ad Daqqooq An Naisaburi Asy Syafi’i berkata:

الساكت عن الحق شيطان أخرس، والناطق بالباطل شيطان ناطق

“Orang yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah Syaithon Akhros (yakni setan yg bisu dari jenis manusia). Dan orang yang menyampaikan kebathilan ia adalah setan yang berbicara” (Disebutkan oleh imam An-Nawawi di dlm Syarah Shohih Muslim).

Pesan dari penulis buku “membaca buku yang baik berarti memberikan makanan rohani yang baik, dan bahagia itu dekat dengan diri kita ada di dalam diri kita”. Semoga bahagia! Jangan lupa senyum.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).

Kategori
Kepulauan Sula Opini

Cerita Hasbi, Seorang Eks Karyawan Tambang Yang Ikut Pelatihan Dari BLK Ternate

SULA – Seiring berkembangnya program pemerintah pusat melalui Dirjen Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan kemudian lewat Balai Latihan Kerja (BLK) Ternate sangat berdampak positif untuk menyerap Sumber daya manusia (SDM) dari berbagai kalangan agar menjadi kreatif, produktif serta mandiri khususnya di Kepulauan Sula.

Hal tersebut dirasakan oleh Hasbi Tidore, seorang Bapak 5 anak dari Desa Ona, Kecamatan Sulabesi barat, Kepulauan Sula.

Kepada Linksatu, Hasbi ucapkan terima kasih kepada Balai Latihan Kerja (BLK) Ternate atas programnya yang sangat bermanfaat.

“Saya ucapkan terimakasih kepada Pak Latif Mentor dari Balai Latihan Kerja (BLK) Ternate atas programnya yang sangat bermanfaat untuk saya khususnya warga Desa Ona,” katanya, Minggu (09/06/2024).

Baca juga: Cerita Rizkiwati, Seorang Tenaga Kesehatan Asal Pulau Seram Yang Bertugas Di Sula

Ia menceritakan, pasca berhenti kerja dari Karyawan Tambang di Pulau Obi, dirinya sering sekali kerja serabutan.

“Semenjak berhenti kerja, saya pun sering kerja apa saja, yang penting bisa beli beras dan bisa ada uang untuk anak Sekolah,” ungkapnya.

Baca juga: Cerita Seorang Pemuda Asal Sula Lulusan Arsitek, Pilih Jadi Tukang Pangkas Rambut

Alumni IAIN Ternate 2014 ini pun tak sangka bisa ikuti Pelatihan dari Balai Latihan Kerja (BLK) Ternate yang dibuat di Desa Ona.

“Awalnya saya tidak tahu ada program pelatihan dari Balai Latihan Kerja (BLK) di Desa, saya pun kemudian diajak oleh Kaka saya yang namanya sudah terdaftar pada kelompok pelatihan tersebut,” ujarnya.

Tanpa pikir panjang, sambungnya ia pun mengiyakan ajakan Kakanya untuk masuk pada kelompok pelatihan tersebut.

Baca juga: Cerita Mahasiswa Unkhair Asal Sula Yang Kerap Kampanyekan Kebersihan Di Taman Wansosa

“Saya langsung mau ajakan Kaka saya, dan memilih masuk pada kelompok pelatihan buat Sofa Sederhana karna kebetulan hobi saya dari dulu ialah pekerjaan yang bersentuhan dengan pertukangan,” bebernya.

Baca juga: 29 Tahun Mengelilingi 25 Negara, ini Alasan Pria Asal Kanada Menetap di Kepulauan Sula

Hasbi juga berharap program pelatihan dari BLK Ternate terus berjalan.

“Program pelatihan yang diadakan oleh BLK Ternate sangatlah bagus untuk kembangkan SDM serta keahlian kami yang ada di Desa-desa terpencil, saya pun berharap program seperti ini masuk ke desa lain lagi karena saya yakin banyak yang mau butuh wadah pelatihan seperti ini,” tutupnya.

Perlu diketahui, walaupun sekarang masih dalam proses praktek akan tetapi Hasil Program pelatihan buat Kursi Sofa yang diselenggarakan BLK Ternate, Hasbi bersama teman-temannya di Desa Ona, Kecamatan Sulabesi barat sudah dapat beberapa pesanan untuk buat Kursi Sofa bahkan ada pesanan dari luar daerah yakni Pulau Obi.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Kategori
Kepulauan Sula Opini

Pembangunan Rumah Pribadi Bupati Fifian Diduga Tak Miliki Dokumen PBG, SLF dan SBKBG

OPINI – Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Maka, tujuan tulisan ini dimaksudkan sebagai fungsi kontrol terhadap pembangunan infastruktur fisik di Kabupaten Kepulauan Sula, terkhusus pada dugaan kasus pembangunan rumah pribadi Bupati Kepulauan Sula Hj. Fifian Adeningsi Mus pada 4 Juni 2021 baru genap menjabat 3 tahun pada 4 Juni 2024, yang terletak di Desa Pastina, Kabupaten Kepulauan Sula. Dan untuk hadiah Hari Ulang Tahun (HUT) Dad Hia Ted Sua (Kabupaten Kepulauan Sula) Ke-21 Tahun kepada publik.

Perubahan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah beralih menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), Sertifikat Laik Fungsi Gedung (SLF), Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG). Perubahan peralihan ini tertuang didalam ketentuan Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021.

PBG, SLF, dan SBKBG, diatur dalam Pasal 1 nomor, 18, 19, dan 37 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021; Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.

Sertifikat Layak Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan. Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.Setiap tahap Penyelenggaraan Bangunan Gedung menghasilkan dokumen yang merupakan hasil pekerjaan penyedia jasa, meliputi: dokumen tahap perencanaan teknis, dokumen tahap pelaksanaan konstruksi, dokumen tahap pemanfaatan, dan dokumen tahap Pembongkaran.

Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi memiliki tanggung jawab mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang diawasi sesuai dengan dokumen PBG. Dalam proses penerbitan PBG, dokumen yang pertama harus disampaikan merupakan dokumen tahap rencana teknis.

Karena, penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi memiliki tanggung jawab mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang diawasi sesuai dengan dokumen PBG. Hal ini sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.Bangun rumah yang tidak memiliki dokumen PBG, termasuk tidak memiliki dokumen SLF, dan dokumen SBKBG. Maka, wajib dikenai Sanksi Administrasi.

Ketentuan Saksi Administrasi tertuang dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2021. Selain itu, dalam Pasal 24 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 46 ayat (1), (2) dan (3) UU Bangunan Gedung, terdapat sanksi pidana dan denda juga apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam UU Bangunan Gedung jo. UU Cipta Kerja.

Jika pemilik bangunan gedung dan/atau pengguna bangunan gedung tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, maka pemilik rumah berpotensi dipidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak 10% dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.Kemudian, jika mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup, pelaku berpotensi dipidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak 15% dari nilai bangunan gedung.

Lalu, jika mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, pemilik bangunan gedung dan/atau pengguna bangunan gedung dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak 20% dari nilai bangunan gedung.

Sehingga berdasarkan amatan gambar yang diperoleh penulis dari lokasi pembangunan rumah, dan berdasarkan pertimbangan dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Maka, dalam proses awal hingga kini pada pembangunan rumah pribadi Bupati Kepulauan Sula Hj. Fifian Adeningsi Mus, yang terletak di Desa Pastina diduga tidak memiliki dokumen PBG, termasuk dokumen SLF, dan dokumen SBKBG.

Jika dugaan ini benar, maka wajib diberikan sanksi administrasi kepada Hj. Fifian Adeningsi Mus sebagai Bupati Kepulauan Sula. Selain itu, jika pemilik bangunan gedung dan/atau pengguna bangunan gedung tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, maka pemilik rumah berpotensi dipidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak 10% dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.

Pemilik rumah dalam tulisan ini dimaksudkan kepada Hj. Fifian Adeningsi Mus sebagai Bupati Kepulauan Sula.

Penulis: Rifaldi Ciusnoyo(Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari)

Redaktur: TIM

Kategori
Opini Politik

Kepulauan Sula Sebuah Dilema “Kota Korup”

OPINI – Politisi culas selalu bertingkah mengubah aturan untuk menyelamatkan diri jadi tersangka, atau bersembunyi dibalik ketek kekuasaan sambil menjilat-jilat ketek kekuasaan agar tidak terjadi perubahan aturan. Bahkan bisa jadi bertingkah berpindah dari periodik ke periodik lain untuk mencari perlindungan politik. Begitulah tingkah politisi culas ketika diri akan jadi tersangka.

Ya, pada tulisan ini mungkin sedikit mengkritik dengan penggunaan istilah sindiran akademik. Tujuan daripada tulisan ini lebih menyoroti penggunaan anggaran publik yang selalu bermasalah pada tingkat implementasi anggaran ke dalam pembiyaan pembangunan infrastruktur publik.

APBD Sula yang tiap tahun dirancang kurang lebih bisa mencapai Triliunan rupiah berdasarkan ukuran tingkat harga-harga barang-jasa termasuk tingkat inflasi yang berlaku di daerah sehingga dalam diperhitungan implementasi anggaran akan berbasis pada sekala prioritas kebutuhan publik. Dengan kata lain kebijakan kesejahteraan tergantung ketersediaan anggaran.

Anggaran daerah juga dapat diperoleh melalui anggaran alokasi umum dan anggaran alokasi khusus sesuai program yang direncanakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sifatnya terikat aturan-aturan anggaran.

Penggunaan anggaran ke dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya yang dipercayai dapat mendatangkan manfaat yang seluas-luasnya bagi publik justru sering disalahgunakan sehingga selalu berujung berkasus dugaan korupsi.

Sehingga, kupikir tiada salahnya mengkritik hal demikian karena kritik publik merupakan bagian dari upaya menyelamatkan pembangunan kota. Kota yang dalam tulisan ini di istilahkan kota korup.

Lanjut, sering kali para aparat pemerintah seperti berlindung dibalik asas praduga tak bersalah padahal fakta bermasalah di lapangan dari akibat implementasi kebijakan penggunaan anggaran dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur publik tersebut.

Sebab, adagium hukum “seseorang belum boleh dinyatakan bersalah sepanjang belum ada hasil putusan final pengadilan bersifat mengikat.” Demikianlah hukum lagi-lagi persoalan pembuktian.

Namun, perlu ditekankan disini bahwa tiada bukti bukan berarti bukti tiada. Karena, semua bisa jadi petunjuk dan semua bisa jadi tersangka. Ini hanya persoalan waktu dan kesempatan. Jika kita benar-benar seirus hendak melakukanya. Karena kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi.

Ya, kembali membaca dan melihat kota ini dengan berbagai macam kasus-kasus dugaan korupsi yang tergeletak di atas meja Kejari Sula, hingga di atas meja KPK RI. Sebut saja, kasus dugaan korupsi dana pembangunan masjid di desa Pohea, kasus dugaan korupsi dana pembangunan fasilitas pendukung kawasan swering Desa Mangon, kasus dugaan korupsi dana BTT, hingga sederet kasus dugaan korupsi lainnya di desa-desa di kota ini yang dilaporkan warga ke Polres Sula atau ke Inspektorat Sula. Namun, kasus-kasus dugaan korupsi ini hingga kini belum berakhir di atas meja hijau pengadilan.

Kupikir hal tersebut hanya persoalan waktu dan kesempatan. Misalnya kasus sekarang, pada tingkatan provinsi maluku utara, yang kini menyeret berbagai pimpinan lembaga pemerintah, termasuk pimpinan tertinggi yakni sebagai Eks Gubernur Maluku Utara di KPK RI.

Kolusi, korupsi, nepotisme dipertontonkan politisi culas, seakan merupakan praktek wajar di tengah-tengah kondisi harga-harga kebutuhan bahan pokok naik yang mencengkik leher warga kota ini.

Padahal praktek demikian menunjukkan bahwa tatanan dalam pengelolaan hak-hak publik diamputasi atau telah disalah gunakan. Seakan menjadi warna dasar kehidupan kota ini. Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaan (Madani) seperti terjerumus apa yang di sebut Machiavelli sebagai “kota korup” atau apa yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliah”.

Di kota korup dan jahil persahabatan madani sejati seperti hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati bangsa dan sesamanya. Saling percaya memudar, hukum dan institusi seakan lumpuh hingga tidak mampu meredam penyalahgunaan jabatan pemerintahan.

Sederet kasus-kasus dugaan korupsi tersebut hampir tinggal nama dari berbagai macam dugaan kasus terkini yang muncul ke permukaan publik yaitu dugaan kasus kecurangan pemilu. Apalagi kota ini tak lama lagi akan memasuki masa pemilihan umum Kepala Daerah. Tentunya kasus-kasus dugaan korupsi tersebut wajib di kawal.

Sebab, kota yang dulu dirindukan secara nyata praktek di lapangan akan menjadi kota Dad Hia Ted Sua, seakan hanya tinggal deretan kata-kata yang tertulis rapi di dinding-dinding kantor, atau seragam dinas-dinas.

Olehnya, tidak terlepas dari semua hal tersebut, tentu sebagai anak muda pelanjut tonggak estafet pembangunan jiwa-raga bangsa ini selalu punya harapan pada mereka yang akan sah dinyatakan terpilih sebagai anggota petugas rakyat di parlemen Sula periodik ini untuk mengambil langkah-langkah afermatif menyelesaikan berbagai macam problem pembangunan yang diwariskan pada petugas rakyat sebelum periodik ini.

Agar supaya kota yang pada tulisan ini di istilahkan sebagai sindiran akademik “kota korup” dapat bersih daripada berbagai macam kasus-kasus dugaan korupsi. Ini harapan, semoga!

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo (Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari).

Kategori
Hukum Dan Kriminal Kepulauan Sula Opini

Korupsi Dana BTT, Bukti Ketidakadilan Ekonomi Pada Masyarakat Kepulauan Sula

OPINI“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) Bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta yang banyak Mengingat Allah.” (Al-Ahzab:21).

Yang dimaksud dengan Qudwah atau suri teladan adalah; “Yaitu orang yang paling pantas untuk di contoh.” Orang-orang siapakah yang akan kita contohi dibawah ini?

Tidak selalu belajar konsep, ide, dan nilai perbuatan dari sumbangsih pemikiran harus dipraktekan pada empiris faktual. Namun perlu dipertimbangkan secara mendalam bahwa pemikiran diterima sebagai bahan informasi nilai bertentangan dengan moral atau tidak.

Misal: bila Anda belajar tentang pemikiran korupsi, bukan berarti Anda praktikkan pemikiran korupsi tersebut kedalam bentuk korupsi. Namun, dipandang ada krisis multidimensi di level fungsi, strategi, kebijakan dasar, nilai. Hingga krisis multidimensi ini sudah mengakar sampai di level nilai.

Maka dalam tulisan ini saya akan mencoba mendeskripsikan kejahatan korupsi dari sudut pandang kejahatan sosiologis, dan ekonomi. Semoga bisa dimengerti. (Soesilo, 1985: 1).

Kejahatan Sosiologis adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman, dan ketertiban. Sedangkan Kejahatan menurut Prof. Saitapi, ialah dasarnya ekonomi (tanpa tahun).

KORUPSI

Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit muncul di Kekaisaran Romawi.

Manusia direpotkan oleh gejala korupsi paling tidak selama beberapa ribu tahun. Intensitas korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlain-lainan. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor.

Tinggi rendahnya tingkat korupsi yang nyata, lebih tergantung pada faktor sejarah dan faktor sosiologis dari pada jenis ancaman hukuman yang dikeluarkan, misalnya diusir ke luar negeri, pidana mati, atau penyitaan (Koruspsi; hal. 1-4).

Dalam perspektif sosiologi korupsi, tindakan korupsi dianggap sebagai gejala sosial yang menjadi masalah sosial di dalam masyarakat karena dengan adanya korupsi kehidupan di masyarakat menjadi tidak damai dan bila tidak diberantas beberapa aspek kehidupan didalam masyarakat juga terus terpengaruh (Review Articles: Jurnal Kolaboratif Sains: Volume 05, Nomor 12, Desember 2022 (3).

Alatas, Syeh Hussain dalam bukunya (KORUPSI; Sifat, Sebab, dan Fungsi: 1987:225) mengungkapkan bawasannya pada hakikatnya korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan.

Ia menjelaskan dalam hal korupsi, penyumbang utama dalam penciptaan ideologi korupsi yang terselubung adalah sejumlah kecil wartawan dan beberapa guru besar perguruan tinggi. Kiranya tidak mungkin mereka secara terbuka menyatakan ideologi kejahatan.

Karena itu, bahkan dalam hal ini pun kebohongan digunakan. Mereka mungkin tidak sadar terhadap apa yang mereka lakukan, yaitu membantu dan mendorong praktek korupsi dengan menawarkan bahan-bahan untuk ideologi korupsi yang diperlukan oleh orang yang korup. Masalah fungsional. Bagaimana fungsional korupsi mendukung usaha yang korup?

PENDEKATAN FUNGSIONAL

Diawal saya telah sampaikan contoh kasus: bahwasannya belajar pemikiran korupsi, bukan berarti dipraktikkan pemikiran korupsi tersebut kedalam bentuk korupsi. Masih dalam buku yang sama di atas: fungsional korupsi menerima posisi usaha yang korup sebagai sesuatu yang wajar.

Bagi para pendukungnya keuntungan adalah kepentingan yang utama walaupun mereka melakukannya di balik topeng pembangunan. Fungsional ini, suatu campuran antara pragmatisme, relativisme nilai, dan sedikit nihilisme, akan melemahkan semangat untuk melawan korupsi dengan membungkusnya dengan kehormatan ilmiah-semu.

Menyedihkannya para fungsionalis korupsi ini berkhotbah tentang bagian-bagian dunia lainnya yang hampir tidak mereka ketahui: Namun, yang paling menghinakan kehormatan negara-negara sedang berkembang ialah mengajari bahwa sistem nilai moral yang rendah cocok buat mereka, sedang di dalam sejarah dan tradisi mereka sendiri mempunyai patokan moralitas yang tinggi (hal:282).

Menurut penulis buku ini: Mengkhotbah itu sendiri adalah perbuatan immoral. Mengapa? Mengutip Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir; “moral human sebagai fakta merupakan konstruk pandangan human, bukan fakta dan objek discovery”. Discovery adalah suatu penemuan sesuatu yang benar-benar baru, artinya kreasi human. Sehingga dimengerti moral bukan hasil kreasi human. Bahkan mereka mengklaim negara-negara berkembang tidak ada pandangan universal.

Tulisan mereka mempunyai pengaruh yang mengecilkan arti pemerasan, ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan terhadap bagian terbesar umat manusia.

Saya tidak mendakwa mereka mempunyai motif rendah tetapi saya hanya menyatakan adanya fungsi korup dalam sumbangan pemikiran mereka. Pendekatan ini berangkat pada peranan fungsional dari akibat-akibatnya, pernyataan mereka mengenai nilai positif korupsi dalam berbagai kasus.

Hal itu dapat dilihat dan dibaca dari keempat orang penulis secara terbuka menyarankan korupsi. Tulisan mereka tertuang dalam sebuah buku (Frank H. Golay, Ralph, M. Ruth Pfanner Eliezer B. Ayal, Underdevelopment and Economic Nationalism in Southeast Asia, hal. 464-465, Ithaca, Cornell University Press, 1969) yang disiapkan dengan bantuan Program Asia Tenggara, Universitas Cornell, menganjurkan korupsi kepada para pengusaha asing.

Membahas bagaimana cara mewadahi kepentingan mereka di Asia Tenggara, mereka menulis berikut ini: “Pada akhirnya pengusaha asing dapat menciptakan jaminan keamanan melalui lembaga-lembaga di luar hukum dan yang tidak absah, termasuk di antaranya korupsi. Peluang yang ada pada pengawasan ekonomi yang tidak menentu dan tingkat gaji para birokrat yang tidak mencukupi memungkinkan ditempuhnya modus vivendi kolusif dengan biaya yang masih dapat ditenggang bagi para pengusaha asing”.

Bahwa modus vivendi kolusif di atas dapat melibatkan pencurian dan penipuan atas kekayaan pemerintah tampaknya tidak menjadi perhatian para pengarang tersebut.

Saya mempunyai kesan bahwa penulis seperti itu tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka tahu bahwa sebenarnya korupsi adalah penyakit masyarakat. Korupsi berpengaruh buruk terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Mereka mempunyai pandangan khayali tentang kenyataan bahwa korupsi itu tidak mengandung akibat buruk terhadap pemerintah dan rakyat bersangkutan serta membuat abstraksi terlepas dari kenyataan empirisnya.

Mereka melakukan secara naif. Mereka memisahkan perbuatan dari konteksnya dan kadang mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

INTEGRITAS

Benarkah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Rasanya begitu pepatah yang tepat karena pepatah mati satu tumbuh seribu rasanya bukan pencegahan yang tepat.

Saya menerangkan seperti itu karena kegelisahan saya setelah membaca artikel berjudul “Membunuh Bibit Korupsi”. Entah pepatah mana yang mungkin tepat untuk diletakkan kedalam pencegahan, dan pemberantasan bibit korupsi.

Namun, yang pastinya, pencegahan, dan pemberantasan korupsi ini harus menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai masyarakat.

Penindasan politisi yang korup terhadap manusia demi harta dan takhta harus dihapuskan. Sebab pembebasan atas nilai-nilai kemanusiaan kata lain dari kemerdekaan manusia harus dihormati dan dilindungi secara manusiawi. Praktek politisi yang suap-menyuap uang ialah suatu bentuk perbuatan korup.

Contoh kasus; di masa pemilu, selalu ada praktik politisi memberi uang suap kepada pemilih (rakyat) dengan alasan untuk memperoleh surat suara rakyat, tahukan Anda bahwa praktik politisi itu adalah korup. Rakyat yang menerima suap dari politisi itu juga adalah korup. Begitu pun sebaliknya. Sehingga politisi dan rakyat sama-sama korup.

Kita bisa lihat contoh kasus ini pada kenyataannya di masa pemilu tahun 2019 yang di mana salah satu kader partai politik menyuap komisioner KPU. Hal ini bukan tentang beda kepentingan, tetapi perbuatan itu adalah immoral. Tentang immoral sudah dijelaskan diawal tulisan ini.

Korupsi ada karena ada politisi yang korup, walau berpenampilan islami, namun terkadang mengabaikan nilai-nilai kitab suci agamanya kedalam praktek-praktek politiknya, padahal ia muslim.

Apakah hal ini merupakan alasan tuduhan tak berdasar? Justru berdasar fakta bahwa telah banyak politisi bersumpah dibawah kitab suci agamanya, namun ditersangkai tindak pidana korupsi hingga terbukti korupsi di negeri ini. Misalnya, Gubernur Maluku Utara, Mantan Bupati Kepulauan Sula, dan lain sebagainya.

Bahkan ada ide politisi yang bermain-main mendorong pembubaran Institusi KPK karena menganggap institusi tersebut tidak lagi independen karena dituding penuh dengan kepentingan politisi. Menganggap kalau tidak ada KPK, tidak ada korupsi. Pola pikir itu ialah pola pikir yang tidak kontekstual serta tidak benar karena tanpa ada institusi KPK pun ada korupsi.

Sebab korupsi itu dalam filsafati adalah ontologinya (proses terjadinya korupsi). Sedangkan institusi KPK dalam filsafati adalah epistemologinya (memberitahu adanya praktek terjadinya korupsi).

Hal ini yang kita sebagai masyarakat bisa membedakan dalam memandang korupsi sehingga masyarakat Indonesia sebisa mungkin harus mencermati (teliti) membaca isu-isu politik, agar bisa membedakan yang mana kepentingan, dan yang mana kebutuhan institusi KPK, dan kepentingan politisi.

Apa itu Institusi? Menurut Douglas C. North, Institusi adalah aturan-aturan main dalam sebuah masyarakat (Buku; “Kudeta Putih”, hal:7). Adakah masyarakat yang menginginkan Institusi KPK tanpa korupsi? Jika ada, rasanya keinginan masyarakat itu mulia, namun tak semulia fakta.

Sebab perbuatan korupsi pun bisa terjadi pada mereka yang ada jabatan di institusi KPK itu sendiri. Karena belum lama ini ketua KPK yang seharusnya memegang nilai-nilai konstitusi kedalam fungsinya mencegah dan memberantas korupsi, serta mengedukasi masyarakat tentang integritas justru ditersangkai tindak pidana korupsi. Entah permainan apa lagi yang coba dimainkan dalam perkara itu.

Kemudian, kasus korupsi dana BTT tahun 2021 dan dana BTT tahun 2022 di kabupaten kepulauan sula, juga menyeret beberapa nama-nama politisi masuk kedalam kasus korupsi dana BTT tahun 2021 senilai 28 miliar rupiah.

Namun, beberapa nama-nama politisi hingga sejauh ini belum berstatus tersangka, masih berstatus saksi. Sedangkan satu nama lain menjadi tersangka telah mengembalikan kerugian negara, Ia adalah JPS Direktur PT Pelangi Indah Lestari.

Semoga kasus korupsi BTT ini terus berjalan hingga terbongkar sampai ke akar-akarnya dan mungkin ada banyak sederet kasus-kasus korupsi lainnya, yang hingga kini masih belum tertangani dengan baik.

Misalnya, kasus korupsi anggaran pembangunan sebuah Masjid di desa pohea, dan berbagai laporan tindak pidana korupsi di desa-desa lainnya di kabupaten Kepsul. Belajar korupsi dari infrastruktur yang paling kecil yakni desa.

Mencermati fenomena berbagai kasus-kasus korupsi itu di negeri ini rasanya naif bersikap diam. Siapa yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat? Sudah pasti masyarakat itu sendiri.

Maka sekelompok masyarakat yang terus berani menyuarakan kebenaran dan ketidakadilan sosial dan ekonomi hingga hari ini di negeri ini harus tetap integritas, kritis, dan tetap memegang prinsip-prinsip kemanusiaan dalam menegakkan keadilan. Karena perjuangan menegakkan keadilan untuk masyarakat sejahtera bukan hanya sekedar dorongan untuk kembalinya kerugian keuangan negara ke kas negara.

Namun, lebih jauh daripada itu, perjuangan menegakkan keadilan ialah misi umat dan bangsa menyelamatkan negeri ini dari pembusukan sosial dan siklus ekonomi akibat dampak perbuatan politisi yang korup yang berlawanan dengan kemanusiaan.

Tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.” (Sari Mehmed Pasha. Ottoman Statecraft, terjemahan Walter L. Wright (Princeton, New Jersey : Princeton University Press, 1935). Tentang hukuman berat yang dijatuhkan kepadanya periksa hal. 12. Cetakan dimiringkan.

Kerusakan kehidupan sosial akibat korupsi. Hal ini mestinya kita masyarakat Indonesia sadar. Terkhusus seluruh lapisan masyarakat di Kepulauan Sula menyadari bawasannya praktek korupsi ada sekeliling kita dapat merusak sisi hidup ekonomi kita.

Kemudian akibat praktek korupsi itu akan memperburuk citra nama baik bangsa Indonesia yang dimerdekakan atas nama Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa), terkhusus lagi citra nama baik negeri Sula itu sendiri yang sama-sama kita cintai ini dimata daerah-daerah lain.

Sehingga, sepatutnya, filosofi Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara harus dijiwai dengan penuh semangat, dan kesadaran jiwa-raga, yang hidup sebagai warga negara sehingga kita tidak menanamkan bibit korupsi kedalam hidup Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Oleh sebab itu, demokratisasi bangsa yang beradab ialah tumbuh kejujuran berbangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi berkeadilan menuju masyarakat sejahtera bukan secara naif berbuat kebiadaban merusak kebenaran, merusak citra nama baik negerinya sendiri untuk harta dan takhta duniawi semata “menghancurkan baik iman maupun negara”.

Jiwai UUD 1945 itu, Dia bukan sebuah kertas yang bertuliskan menu makanan dan minuman di rumah makan yang Anda baca lalu memesan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan perut Anda.

Lalu Anda menjanjikan uang yang Anda bayar, lalu Anda bilang uang itu merupakan bentuk keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan.

“Apapun yang terjadi tetaplah mencintai negeri ini. Dad Hia Ted Sua”.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo, Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam UMMU Kendari.