OPINI – Belakangan korps Adhyaksa di Kepulauan Sula terus diuji kompetensinya dalam penanganan perkara-perkara korupsi mulai dari penyimpangan APBD hingga kasus suap menyuap di lintas pemerintah daerah hingga di tingkat lembaga penegak hukum kerap terjadi.
Lihat saja beberapa kasus korupsi yang mangkrak di meja kejaksaan merupakan notifikasi buruk penanganan perkara hukum di negeri ini.
Hal demikian tentunya menjadi perhatian serius bagi kita semua, sebab bagaimana mungkin kita bicara peningkatan daya saing sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah kalau pejabat dan kepala daerah terlilit dugaan kasus korupsi.
Dalam sistem pemerintahan yang kotor/korup akan melahirkan orang-orang kotor dan korup juga. Kalimat tersebut tepat untuk memberikan penegasan atas situasi otonomi daerah saat ini pasca runtuhnya Orde Baru pada Tahun 1998 menciptakan euforia dalam desentralisasi serta Spirit otonomi daerah memiliki tujuan baik, dengan menggandeng trayek kesejahteraan sebagai bagian dari proses untuk memberikan kesempatan kepada daerah memajukan perekonomiannya.
Sayangnya otonomi daerah justru memberikan legacy buruk, sebab kebebasan suatu pemerintahan dalam mengatur daerahnya sendiri tidak di atur dengan sistem hukum yang kuat serta mentalitas pejabat yang rusak hingga seringkali terjadi perbuatan tindak pidana korupsi di dalamnya.
Hal tersebut pastinya terjadi akibat lemahnya lembaga pengawas (DPRD) dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sehingga berbuntut pada lahirnya raja-raja kecil di daerah.
Yang terjadi adalah Posisi kepala daerah dianggap sebagai jalan untuk mempertebal kekayaan pribadi dan melupakan tangungjawabnya atas kesejahteraan rakyat sebagaimana yang telah di amanatkan oleh UUD 1945.
Kepulauan Sula dimekarkan menjadi Kabupaten pada 2003 lalu, Kepala daerah pertama yang di pilih oleh rakyat yakni Ahmad Hidayat Mus yang menakhodai Sula selama 10 tahun dan di juluki sebagai bapak pembangunan yang kemudian nasibnya berakhir di terali besi setelah melepas jabatannya dalam kurun waktu yang tidak lama.
Kemudian komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ahmad Hidayat Mus (AHM) dan Ketua DPRD Kepulauan Sula Zainal Mus (ZM) sebagai tersangka kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Bobong, Kabupaten Pulau Taliabu.
Pada 2016 Hendrata Thes dilantik menjadi Bupati Kepulauan Sula, di 2021 tongkat kepemimpinan kembali direbut oleh Adik dari Mantan Bupati Sula Ahmad Hidayat Mus, yakni Fifian Adeningsih Mus yang di Lantik di tahun 2021 hingga kini Fifian menjabat kurang lebih 3 tahun.
Di penghujung masa jabatan Bupati Kepulauan Sula Fifian Adeningsi Mus banyak pejabat di masa Hendrata Thes yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi BTT yakni Mantan Sekretaris Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKAD) dan juga pernah menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kepulauan Sula.
Lebih menarik lagi di penghujung jabatan Bupati Fifian Adeningsih Mus saat ini terlihat terang ada banyak dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan oknum-oknum di dalam pemerintahannya.
Lihat saja Kasus BTT yang kemudian ada dugaan kuat keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Sula kurang lebih 4 orang yang telah dipanggil oleh pihak penyidik kejaksaan negeri (Kejari) kepulauan Sula:
1. Ketua DPRD Kepulauan Sula Sunaryo Thes.
2. Ahkam Gazali.
3. Hamja Umasangadji.
4. Lasidi Leko.
Sayangnya Aparat Penegak Hukum yang diberikan kepercayaan oleh negara untuk jalankan tugas dan kewajiban untuk memberantas korupsi di daerah terlihat acuh bahkan patut di duga APH juga terlibat bermain di kasus ini.
Jika di telusuri, ada Dugaan oknum OPD yang terlilit masuk dalam melakukan kejahatannya luar biasa tersebut, namun justru Kejari Kepulauan Sula langgeng bergandengan tangan dengan OPD tersebut ke mana- mana.
Patut diduga Kejari Kepulauan Sula telah melakukan satu tindakan melawan hukum karena telah melanggar standar etik seorang Adhyaksa.
Apakah kita masi bisa percaya pada lembaga penegak hukum seperti demikian? Padahal tugas mereka adalah membantu negara untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi agar negara tetap aman dan terlepas dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum dan dapat merugikan negara.
Dengan demikian, saya mengatakan bahwa ada dugaan kuat kalau di dalam tubuh Kejaksaan negeri kepulauan Sula mulai pecah dua kubu yang saling melindungi kepentingannya masing-masing, Kubu A melindungi kepentingan Dari Mantan Bupati Hendrata Thes dan Di kubu B melindungi Kepentingan Dari Bupati aktif sekarang Fifian Adeningsih Mus.
Hal yang bersifat dugaan ini muncul karena dari beberapa saksi yang kemudian diperiksa lebih banyak pejabat dari masa jabatan Bupati Fifian Adeningsih namun yang keluar ditetapkan sebagai tersangka adalah oknum-oknum yang mempunyai kuasa di masa mantan Bupati Hendrata Thes, namun tak apa sebab Itu melalui mekanisme proses penyelidikan dan penyidikan dari yang punya kewenangan Kejaksaan Negeri kepulauan Sula.
Akhirnya atas dasar cinta kasih yang di bungkus rapi untuk saling melindungi perlahan-lahan bau busuknya mulai tercium ke publik, apakah kemesraan ini akan berakhir dikasur empuk untuk saling menikmatinya ataukah akan berakhir di kamar tahanan (jeruji besi).
Mari ramai-ramai kita menonton sinema yang di sutradarai oleh sutradara ternama antara APH dan Pemda dengan judul “BTT, Jeruji Besi dan Cinta di Istana Daerah.
“Jika suara-suara rakyat tak lagi didengar oleh penguasa kemana lagi rakyat mencari keadilan”.
Oleh: Jisman Leko, Presiden BEM STAI Babussalam Sula