Propam Polres Kepulauan Sula Dalami Informasi Pungli Oknum Penyidik

SULA – Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Kabupaten Kepulauan Sula telusuri informasi pungutan liar (pungli) liar yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda terkait penanganan kasus salah satu narapidana inisial ST yang sedang menjalani hukumannya di Lapas kelas IIB Sanana.

IPTU Ikbal Umanailo, Kasi Propam Polres Sula saat dikonfirmasi mengatakan, sedang dalami informasi pungutan liar (pungli) tersebut.”Kami dari Propam masih melakukan pendalaman, dengan memintai keterangan dari pelapor berinisial ST yang saat ini berada di Lapas Kelas IIB Sanana,” katanya, Selasa (29/07/2025).

Baca juga: Hasil Resmi Kasus KM, Menunggu Gelar Perkara Dengan Bareskrim Mabes Polri

Ia bilang, pihaknya pun telah memeriksa oknum penyidik IU, akan tetapi IU bantah seluruh tuduhan ST.

“Kami telah melakukan pemeriksaan terhadap penyidik IU. tapi IU menyangkal bahwa tuduhan ST tidak benar atau bohong,” tegasnya.

Baca juga: Aktivis Dan Praktisi Hukum Soroti Kinerja Satreskrim Polres Kepulauan Sula

Meskipun dibantah penyidikan IU, lanjut IPTU Ikbal, Propam Polres Kepulauan Sula tetap serius menangani informasi pungli tersebut.

“Walaupun penyidik IU bantah tuduhan ST, kami tetap seriusi informasi pungli tersebut, dan untuk sekarang sudah 3 orang saksi yang kami periksa,” bebernya.

Baca juga: Berikut Dokumen Penting Pembangunan RS Pratama Di Sula

Ia juga akan menyampaikan perkembangan selanjutnya terkait informasi pungli.

“Kami akan terus mendalami kasus ini. Jika semua pemeriksaan telah rampung, kami akan sampaikan perkembangan selanjutnya kepada publik,” tutupnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Diduga Uang Belasan Juta Milik ST Diterima Oknum Jaksa Di Sula

SULA – Perkembangan terkait Informasi pungutan liar yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda terkait penanganan kasus salah satu narapidana inisial ST yang sedang menjalani hukumannya di Lapas kelas IIB Sanana makin kian menarik.

Berdasarkan informasi yang ditelusuri linksatu, salah satu oknum Jaksa inisial F yang bertugas di Kejaksaan negeri Kabupaten Kepulauan Sula diduga menerima uang belasan juta dari ST.

Akan tetapi hal tersebut dibantah langsung oleh Oknum Jaksa inisial F saat dikonfirmasi.

“Perlu saya tegaskan, saya sebagai Jaksa penuntut umum yang menangani Kasus ST tidak pernah menerima sejumlah uang dari ST,” katanya, Senin (28/07/2025).

Baca juga: Nekat! Salah Satu Napi Di Sula Beberkan Kejanggalan Penanganan Kasusnya

Ia juga menjelaskan, apabila dirinya menerima sejumlah uang, maka tak mungkin tuntutan ST tinggi.

“Saudara ST dijatuhi hukuman 12 tahun dan denda 200 juta, dengan ketentuan kalau dendanya tak dibayarkan maka akan digantikan kurungan selama 6 bulan, secara logika saja kalau saya terima uang darinya maka tak mungkin tuntutan saya tinggi,” tegasnya mengakhiri.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Kapolda Didesak Evaluasi Kinerja Polres Sula Terkait Informasi Pungli Penanganan Kasus

SULA – Dewan perwakilan daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Maluku Utara mendesak Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol. Drs. Waris Agono untuk segera evaluasi kinerja Polres Kepulauan Sula terkait Informasi pungutan liar yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda terkait penanganan kasus salah satu narapidana inisial ST yang sedang menjalani hukumannya di Lapas kelas IIB Sanana.

Alfian Ali, Kabid Hukum dan Ham DPD IMM Maluku Utara mengatakan, pungutan liar dalam penanganan kasus merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan atau tindakan melawan hukum yang dilakukan tampa dasar hukum yang jelas dan secara langsung merugikan masyarakat.

Menurutnya, pungli juga merupakan salah bentuk korupsi yang secara jelas dimuat dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada Pasal 12 ayat (1) yang mengatur tentang pemerasan dan penerimaan gratifikasi.

“Pungli merupakan salah bentuk tindakan melawan hukum dan tak bisa ditelolir, jadi kami mendesak Kapolda segera evaluasi kinerja Polres Sula terkait beredarnya informasi pungli yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik inisial IU dalam penanganan kasus,” katanya, Sabtu (26/07/2025).

Baca juga: Nekat! Salah Satu Napi Di Sula Beberkan Kejanggalan Penanganan Kasusnya

Ia juga meminta Kapolres Sula beri sanksi berat kepada oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda, jika informasi pungli terkait penanganan kasus terbukti dilakukan.

“Mencuatnya informasi pungli dalam penanganan kasus pada Institusi Polri, jelas sangat meresahkan, pastinya kepercayaan publik semakin berkurang serta Intergritas Institusi lembaga tersebut kian dipertanyakan, jadi kami berharap Kapolres Sula beri sanksi berat kepada oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda, jikalau informasi pungli tersebut benar terjadi,” tegasnya.

Baca juga: Kapolda Baru Ditantang Tuntaskan Kasus Anggaran Pengawasan DD Di Sula

Terpisah, Kapolres Sula AKBP Kodrat Muh. Hartanto menyampaikan, akan mendalami dan menindaklanjuti Informasi pungutan liar yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda terkait penanganan kasus salah satu narapidana inisial ST yang sedang menjalani hukumannya di Lapas kelas IIB Sanana.

“Informasi ini akan didalami dan ditindaklanjuti sesuai dengan fakta yang nanti ditemukan dengan aturan yang ada,” ucapnya.

Baca juga: Polres Sula Dalami Informasi Pungli Terkait Penanganan Kasus

Ia juga bilang, anggotanya akan berhadapan dengan sanksi, apabila terlibat pungutan liar dalam penanganan kasus.

“Bagi pers yang sudah melaksanakan tugas dengan baik dengan menjaga integritas dan profesionalisme, saya memberikan apresiasi. Sebaliknya bagi personil yang melakukan pelanggaran akan berhadapan dengan sanksi,” tegasnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Dinilai Ada Kejanggalan, Kuasa Hukum Di Sula Soroti Proses Penanganan Kasus Kliennya

SULA – Kinerja Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara kembali disoroti, kali ini dari Aryanto Umakamea, Kuasa hukum Fahruddin K. Umafagur, mengecam keras keputusan penyidik yang menetapkan kasus dugaan penganiayaan sebagai perkara tindak pidana ringan (tipiring).

Padahal menurutnya, peristiwa tersebut seharusnya diproses sebagai tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP.

“Kasus ini sudah cukup lama yang mana bermula dari Laporan Polisi Nomor:LP/B/124/VIII/2024/PMU/SPKT Res Sula, tertanggal 25 Agustus 2024, yang dilaporkan oleh Fahruddin K. Umafagur. Dalam laporannya, Fahruddin mengaku mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan luka dan trauma, akan tetapi penyidik justru menafsirkan peristiwa itu sebagai kasus ringan dan tidak menindaklanjuti dengan proses hukum yang sepadan,” katanya, Sabtu (26/07/2025).

Baca juga: Kapolda Dinilai Takut Tetapkan KM Sebagai Tersangka Kasus Anggaran Pengawasan DD Di Sula

Ia menegaskan, bahwa penetapan perkara kliennya sebagai tipiring, merupakan bentuk kesalahan dalam menilai unsur-unsur delik penganiayaan, karna luka fisik yang dialami kliennya bukanlah luka ringan yang dapat dikesampingkan melalui sidang cepat.

“Kami sangat menyayangkan keputusan penyidik yang merendahkan bobot kekerasan dalam kasus ini. Luka yang dialami klien kami sangat jelas menunjukkan unsur penganiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 351 KUHP, bukan sekadar pelanggaran ringan,” cetusnya.

Baca juga: 29 Tahun Mengelilingi 25 Negara, ini Alasan Pria Asal Kanada Menetap di Kepulauan Sula

Aryanto juga bilang, penetapan kasus kliennya sebagai tipiring telah merugikan hak-hak hukum korban, termasuk hak untuk mendapat perlindungan dan pemulihan secara hukum.

“Kami kuasa hukum Fahruddin K. Umafagur merasa dirugikan karena hak-hak hukum korban tak terpenuhi dan saat ini, kami sedang mempersiapkan atas dasar dugaan salah penerapan pasal dan kelalaian dalam proses penyidikan kliennya,” imbuhnya.

Baca juga: Janjikan Lulus P3K, Kepala BKSDM Sula Diduga Lakukan Pungli

Ia pun berharap, ada evaluasi dari internal Polres Sula terhadap kinerja penyidik dalam menangani laporan kliennya.

“Kami hanya ingin keadilan bagi klien kami, serta memastikan bahwa proses hukum di negeri ini tidak diwarnai ketidakseriusan dalam menangani sebuah perkara, maka kami berharap ada evaluasi dari internal Polres Sula terhadap kinerja penyidiknya,” tutupnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Polres Sula Dalami Informasi Pungli Terkait Penanganan Kasus

SULA – Polres Kepulauan Sula akan mendalami dan menindaklanjuti Informasi pungutan liar yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik inisial IU berpangkat Aipda terkait penanganan kasus salah satu narapidana inisial ST yang sedang menjalani hukumannya di Lapas kelas IIB Sanana.

“Informasi ini akan didalami dan ditindaklanjuti sesuai dengan fakta yang nanti ditemukan dengan aturan yang ada,” kata Kapolres Sula AKBP Kodrat Muh. Hartanto, Kamis (24/07/2025).

Baca juga: Nekat! Salah Satu Napi Di Sula Beberkan Kejanggalan Penanganan Kasusnya

Ia juga bilang, anggotanya akan berhadapan dengan sanksi, apabila terlibat pungutan liar dalam penanganan kasus.

“Bagi pers yang sudah melaksanakan tugas dengan baik dengan menjaga integritas dan profesionalisme, saya memberikan apresiasi. Sebaliknya bagi personil yang melakukan pelanggaran akan berhadapan dengan sanksi,” tegasnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Nekat! Salah Satu Napi Di Sula Beberkan Kejanggalan Penanganan Kasusnya

SULA – Informasi dugaan praktek busuk Institusi Polri kembali mencuat ke publik, kali ini terkait pungutan liar yang diduga dilakukan oleh salah satu penyidik inisial IU berpangkat Aipda yang bertugas di Satreskrim Polres Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Salah satu narapidana inisial ST yang saat ini menjalani hukumannya di Lapas kelas IIB Sanana, kepada linksatu mengatakan, pernah dimintai uang belasan juta oleh Oknum penyidik inisial IU dengan sejumlah iming-iming.

“Saat itu saya diperiksa dua kali oleh penyidik IU di Satreskrim Polres Sula, kemudian diminta uang 15 juta oleh IU dengan iming-iming kasus saya dapatkan keringanan hukum serta membantu konsumsi saat persidangan nanti,” katanya, Rabu (23/07/2025).

Baca juga: Polda Diminta Ambil Alih Kasus Oknum Polisi Di Sula Terkait Dugaan Persetubuhan

Dengan polosnya, tanpa berpikir panjang lebar, lanjut ST dirinya pun memenuhi permintaan penyidik IU.

“Permintaan penyidik IU uang 15 juta, namun yang mampu saya berikan kepadanya uang 12 juta setengah, terus saya minta bukti untuk terkait pemberian uang namun IU menolaknya, kemudian uang yang diberikan ke penyidik IU pun tanpa sepengetahuan keluarga maupun pengacara saya, apalagi saya baru pertama kali berurusan dengan Polisi, jadi saya pun ikut-ikut saja permintaan penyidik IU,” bebernya.

Baca juga: Kapolda Baru Ditantang Tuntaskan Kasus Anggaran Pengawasan DD Di Sula

ST pun mengaku, nekat beberkan informasi ke publik terkait oknum penyidik IU karena dirinya merasa sangat dirugikan lantaran dibohongi.

“Kasus saya sampai kasasi namun putusan tetap 12 tahun lebih, jadi saat ini saya nekat beberkan hal ini karena merasa dibohongi dan sangat dirugikan, dan saya sudah siap bertanggung jawab segala resikonya dengan informasi yang saya berikan, sebagai harapan jangan lagi ada praktek-praktek seperti ini kepada pelaku-pelaku kriminal lainnya,” tegasnya.

Baca juga: Perkara Korupsi BTT: Kajati Malut Ditantang Buktikan Kata “Tanggung Jawab”

Terpisah Penyidik Aipda inisial IU saat dikonfirmasi, membantah dirinya menerima uang belasan juta dari ST.

“Perkara ST terkait persetubuhan dan dirinya ditahan, masa uang sebanyak itu saya minta ke dia, kemungkinan ST salah orang, siapa tahu di Jaksa, baru ST bilang ke saya,” ucapnya.

Baca juga: Janjikan Lulus P3K, Kepala BKSDM Sula Diduga Lakukan Pungli

Ia menjelaskan, masalah terkait ST penyidik sampai turun ke desa Waitina untuk olah TKP.

“Masa saya minta uang belasan juta di ST untuk apa? sedangkan masalahnya sampai kami turun ke desa Waitina untuk olah TKP, mungkin jangan sampai pengacaranya, karna pendampingan dan pengacara ditunjuk oleh kami, biasanya pengacara sering bicara dengan pelaku terkait hal-hal seperti begitu,” bebernya.

Baca juga: Diduga Terima Gratifikasi, Kejagung RI Didesak Periksa Kepala Kejari Sula

Tak terima, Penyidik Aipda inisial IU pun akan menindaklanjuti tuduhan ST.

“Yang jelasnya saya sebagai penyidik tidak suka dituduh terkait hal-hal mengenai uang. Dan masalah ini tidak akan selesai sampai disini, saya akan tindaklanjuti,” tutupnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Telan DAK 43.8 Miliar, Menkes RI Ditantang Sidak Proyek RS Pratama Dofa Yang Diduga Dikorupsi

SULA – Rencana kunjungan kerja Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, dalam rangka peletakan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sanana, Kamis (17/07/2025) nanti tuai sorotan publik.

Sorotan publik ini terkait proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama di Desa Dofa, Kecamatan Mangoli Barat, dengan total anggaran 43.8 Miliar yang diduga di korupsi dan sementara Kasusnya ditangani Polda Maluku Utara.

Rifaldi Ciusnoyo, Alumni Universitas Muhammadiyah Kendari yang kerap mengkritik kebijakan publik pemerintah melalui tulisannya, menantang Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin untuk sidak langsung pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama Dofa yang diduga mangkrak.

Baca juga: Berikut Dokumen Penting Pembangunan RS Pratama Di Sula

Ia menyampaikan, pembangunan RS. Pratama sangat perlu menjadi atensi khusus Menteri Kesehatan RI untuk mengevaluasi kelayakan pelayanan kesehatan.

“Progres Pembangunan RS. Pratama di Kepulauan Sula ada disisi kondisi konstruksi dasar bangunan yang longsor. Maka wajib dijadikan atensi khusus dan harus ditinjau langsung oleh Menteri Kesehatan RI untuk mengevaluasi kelayakan pelayanan kesehatan, dan memastikan kepercayaan publik kepada Menteri Kesehatan RI ada keseriusan benahi kondisi pelayanan kesehatan di Kepulauan Sula,” tegasnya, Jum’at (11/07/2025).

Baca juga: Sejumlah Instansi Penting Di Maluku Utara Didemo Terkait 3 Kasus Tipikor Di Sula

Rifaldi juga menilai, pihak kontraktor Pembangunan RS. Pratama Dofa di Kepulauan Sula, hanya mencari untung.

“Menkes RI harus turun ke lokasi proyek pembangunan RS Pratama guna untuk memastikan kualitas pekerjaan konstruksi apakah sesuai dengan standar atau tidak. Karena saya menilai pihak kontraktor yang menangani proyek tersebut hanya mencari untung, akibatnya dapat membahayakan keselamatan masyarakat dan sangat jelas merugikan negara,” tutupnya.

Sekedar informasi Proyek pembangunan Rumah Sakit Pratama Dofa dibangun dengan total anggaran senilai 43,8 miliar dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran (TA) APBN 2023 dan dikerjakan oleh PT. Bumi Aceh Citra Persada.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

Tak Sebarkan Foto DPO Kasus BTT, Kajati Didesak Copot Kajari Sula Dari Jabatannya

SULA – Dewan Pimpinan Cabang GMNI menyoroti kinerja Kejari Kepulauan Sula terkait tak menyebarkan foto Muhammad Yusril Direktur PT. HB Lautan Bangsa salah satu DPO Kasus Korupsi Dana BTT Senilai 28 Miliar lebih tahun 2021.

“Memperkecil ruang gerak Muhammad Yusril DPO Kasus BTT, seharusnya fotonya sudah disebarkan luaskan oleh Kejari Sula, agar publik tahu dan warga pun dapat mengenal sosok DPO serta bisa membantu berikan informasi ketika melihat DPO tersebut,” kata Irfandi Norau, DPC GPM Kepulauan Sula, Jum’at (27/06/2025).

Baca juga: Kejari Sula Terkesan Bungkam Terkait Penetapan Tersangka Baru Kasus BTT

Ia menilai, Kejari Sula sengaja melindungi Oknum-oknum yang terlibat dalam Kasus Korupsi Dana BTT senilai 28 Miliar lebih.

“Penetapan Muhammad Bimbi sebagai tersangka sudah cukup lama, seharusnya sudah ada tersangka baru dalam Kasus BTT ini. Kami menilai Kejari Sula sengaja melindungi Oknum-oknum yang terlibat, contohnya sampai saat ini publik tak pernah tahu menahu siapa Muhammad Yusril DPO Kasus BTT karena fotonya tak disebarkan luaskan,” cetusnya.

Baca juga: Perkara Korupsi BTT: Kajati Malut Ditantang Buktikan Kata “Tanggung Jawab”

Irfandi juga mendesak, Kajati Maluku Utara segera copot Kajari Sula, karena dinilai gagal tangani Kasus Korupsi Dana BTT senilai 28 Miliar lebih tahun 2021.

“Kami pikir, Kajari Sula yang diganti ini bisa ada Tersangka baru Kasus BTT ini dan kinerjanya lebih baik dari Kajari sebelumnya. Padahal penilaian kami salah, hasilnya malah lebih buruk dari Kajari sebelumnya, untuk itu kami mendesak Kajati Maluku Utara segera copot Priya Agung Jatmiko dari Kajari Kabupaten Kepulauan Sula,” tegasnya.

Baca juga: LL Mangkir Dari Panggilan Jaksa Terkait Kasus Korupsi Dana BTT Di Sula

Terpisah, Kasi Intel Kejari Sula, Raimond Chrisna Noya saat dikonfirmasi mengatakan, akan dicek kembali terkait foto Muhammad Yusril DPO Kasus Korupsi Dana BTT di tahun 2021 yang belum disebar luaskan.

“Nanti diinfokan kembali, tunggu kami cek kembali,” singkatnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM

KILAS BALIK PERUBAHAN MODEL PEMILU SERENTAK

OPINI – Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan memisahkan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan Pemilu daerah atau lokal. Putusan ini diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Kamis 26 Juni 2024 di ruang Sidang Pleno MK. Pemilu nasional meliputi jenis Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu daerah meliputi Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota serta Pemilihan Gubernur -Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati serta Walikota-Wakil Walikota. Dalam putusan MK tersebut kedua Pemilu ini dipisah dalam jeda dua tahun.

Gugatan tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang di register MK dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024 tanggal 4 Oktober 2024. Perludem mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Perludem menilai Pemilu Serentak dengan lima kotak suara melemahkan pelembagaan Partai Politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat. Lebih lanjut menurut Perludem, pelaksanaan Pemilu lima kotak membuat Partai Politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik dalam pencalonan legislatif tiga level (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota) sekaligus. Sesuai alasan-alasan yang diajukan tersebut, Perludem meminta Mahkamah agar Pemilu dipisah menjadi Pemilu Nasional untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden serta Pemilu Daerah untuk memilih Anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan kepala daerah. Perludem juga meminta ada jeda 2 tahun antara kedua Pemilu.

Setelah putusan MK diberitakan di sejumlah media nasional terutama melalui platform media sosial, publik pun bertanya-tanya, persoalan apa yang menyebabkan model Pemilu serentak nasional dan daerah ini berubah dari penyelenggaraan Pemilu sebelumnya. Tulisan ini bermaksud melakukan flashback mengenai latar belakang perubahan model Pemilu serentak berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Dalam proses sejarah demokrasi elektoral Indonesia, terjadi perubahan signifikan pasca jatuhnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998 yang menghembuskan semangat reformasi disegala lini kehidupan, khususnya reformasi politik secara besar-besaran merubah semua struktur politik kearah lebih liberal. Pemilu 1999 digelar sebagai pemilu pertama pascareformasi diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem dan mekanisme pemilu persis sama seperti pemilu di era sebelumnya. Parlemen hasil pemilu 1999 kemudian melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak empat tahap membentuk demokrasi Indonesia yang terus melangkah dari era transisi menuju konsolidasi. Hasil amandemen konstitusi tersebut melahirkan tiga ketentuan penting yaitu presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, pembentukan lembaga representasi baru mewakili daerah yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwakilan setiap daerah provinsi di parlemen, serta pemilihan kepala daerah langsung.

Penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden pada Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 dilaksanakan secara terpisah. Hal ini dianggap tidak konstitusional. Efendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat Menggugat kemudian melakukan aksi menggugat UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terhadap gugatan tersebut kemudian keluarlah putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah Konstitusi, memisahkan pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah inkonstitusional. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam keserentakan Pileg dan Pilpres ini memiliki tiga alasan yaitu, efisiensi anggaran, penguatan sistem presidensial, dan original intent. Putusan MK ini menjadi dasar yang menetapkan kebijakan tentang pemilihan umum serentak dan mulai dilaksanakan pada Pemilu 2019.

DPR dan Pemerintah sebegai pembentuk undang-undang juga menyetujui hasil putusan MK tersebut dengan alasan logis efisiensi dari sisi anggaran dan waktu ketika Pemilu presiden dan Pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak pada waktu yang sama. Selain itu, pencalonan presiden tidak akan tersandra oleh koalisi partai partai politik dalam dukungan pada saat pencalonan. Skema pemilu serentak akan memperkuat skem sistem presidensial yang merupakan amanat konstitusi. Dengan kata lain, skema pemilu serentak membuat proses politik dalam kandidasi pilpres bersih dari lobi-lobi dan negosiasi politik dari partai-partai politik hanya untuk kepentingan sesaat.

Putusan MK 14/2013 kemudian di undangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, sehingga Pemilu DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada tanggal 17 April 2019 dilaksanakan secara serentak. Pada pelaksanaannya terdapat beberapa masalah yang menonjol berupa munculnya kompleksitas secara teknis manajemen di lapangan. Para analis kepemiluan menemukan sejumlah persoalan pada keserentakan Pemilu 2019 dari sisi sistemik dan manajemen operasional, kemudian mengemukakan opsi-opsi perbaikan untuk Pemilu 2024.

Penyelenggaraan Pemilu 2024, model Pemilu serentak lima kotak relatif sama dengan Pemilu 2019 karena masih mendasarkan pada regulasi yang sama yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, namun KPU sebagai pelaksana teknis penyelenggaraan Pemilu telah melakukan inovasi pada sejumlah tahapan terutama penyederhanaan administrasi hasil pemilu di TPS dan penggunaan tenknologi informasi seperti Sirekap. Pelaksanaan Pemilu lima kotak tahun 2024 juga tidak luput dari persoalan dalam setiap tahapannya, bahkan beberapa hal yang menjadi tujuan dilaksanakan Pemilu serentak belum tercapai, sehingga perubahan model keserentakan berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah model Pemilu serentak yang telah di putuskan MK.

Putusan MK mengenai pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah sebenarnya bukan isu baru. MK dalam salah satu putusannya memberi pembuat undang-undang untuk memilih sejumlah opsi model Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak lokal. Ketentuan itu terdapat dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diputuskan pada 26 Februari 2020, yang digugat Perludem mengenai format Pemilu nasional dan Pemilu daerah. MK dalam putusan tersebut mengajukan 6 (enam) model atau skema Pemilu serantak. Pertama, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Pemilu serentak semacam ini disebut pemilu lima kotak seperti pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Kedua, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati-Walikota. Ketiga, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Pemilu serentak semacam ini disebut Pemilu serentak tujuh kotak. Keempat, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota. Kelima, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Keenam, Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden.

Menurut Didik Supriyanto, alternatif pada point keempat setidaknya tidak membuat pemilih bingung, tidak memberatkan penyelenggara pemilu dan membikin bergema kampanye partai politik pasangan calon eksekutif maupun calon legislatif. Juga memperkuat sistem presidensial ditingkat nasional dan lokal (Supriyanto, 2020). Alternatif keempat dianggap pilihan yang sesuai bagi proses elektoral berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Namun, secara teknis manajerial kemungkinan masih terdapat problem teknis manajerial terutama pada Pemilu daerah.

Sebenarnya, geliat pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah telah digaungkan oleh analis dan praktisi pemilu. Khoirunnisa Nur Agustyati (editor) dalam Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem ke Manajemen Pemilu, menegaskan bahwa salah satu model yang yang paling relevan dan mendekati kebutuhan adalah model Pemilu serentak nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR dan DPD kemudian Pemilu serentak lokal dengan memilih kepada daerah serta memilih DPRD. Selanjutnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menawarkan tiga opsi keserentakan Pemilu 2029 (Bingkai Nasional, 9/5/2025). Opsi pertama tetap sama seperti Pemilu dan Pilkada tahun 2024 kemarin. Opsi kedua pemisahan Pemilu Nasional DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden kemudian selang tahun berikutnya pelaksanaan Pemilu Lokal memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur dan Bupati/Walikota pada tahun 2030 atau tahun 2031. Opsi ketiga, pelaksanaan Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak dengan jeda waktu tidak seperti pada pelaksanaan tahun 2024 kemarin. Menurut Bagja, varian kedua dan ketiga perlu dipertimbangkan. Pernyataan analis dan praktisi pemilu diatas menegaskan bahwa pilihan yang telah di tetapkan sebagaiman putusan MK mengenai pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal dianggap sebagai pilihan yang tepat.

Perubahan format keserentakan berupa pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah ini pastinya harus memiliki payung hukum, maka dalam waktu dekat sebelum pelaksanaan tahapan pemilu sudah dilakukan revisi Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Pilkada. Sebagaimana diberitakan, Komisi II DPR RI akan memulai pembahasan mengenai revisi UU Pemilu dimulai tahun 2026 (Detik News, 8/5/2025). Menurut MK, memisahkan keserentakan Pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wakil Presiden dengan Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, serta walikota-wakil walikota adalah konstitusional. Hal ini untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas, memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih.

Sebagaimana dilansir dari website MK, berikut sejumlah asumsi pokok dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 dalam sidang Putusan pada Kamis (26/6/2025). Pertama, menenggelamkan masalah pembangunan daerah, dalam hal Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal yang diselenggarakan dalam waktu berdekatan menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serta pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.

Kedua, pelemahan pelembagaan Partai Politik. Pemilu lima kotak seperti pada pemilu 2024 berimplikasi pada kemampuan partai politik dalam mempersiapkan kader partai dalam kontestasi pemilu, sehingga partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme di banding menjaga idealisme dan ideologi partai politik. Selain itu, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilu legislatif secara bersamaan antara pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sekaligus menyiapkan kader untuk kontentasi pemilu presiden-wakil presiden membuat proses kandidasi penuh transaksional. Partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral semata.

Ketiga, kualitas penyelenggaraan pemilu. Pemilu lima kotak (DPR, DPD, Presiden, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota) yang dilaksanakan berdekatan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagaimana pada tahun 2024, menyebabkan terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum. Selain itu, Pemilu Nasional dan Lokal yang dilaksanakan pada waktu yang sama menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu.

Keempat, pemilih jenuh dan tidak fokus. Pemilu Nasional dan Lokal yang dilaksanakan berdekatan berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum. Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dengan waktu yang tersedia sangat terbatas seperti pada Pemilu Lima kotak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Kelima, waktu penyelenggaraan Pemilu. Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dilaksankan pemungutan suara untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota. Keenam, pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan baik masa jabatan DPRD hasil pemilu 14 Februari 2024 dan masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan 27 November 2024, penentuan dan perumusan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yakni DPR RI.

Model Pemilu nasional dan Pemilu lokal sebagaimana alternatif yang telah ditetapkan jika dilihat dari sejumlah tesis MK diatas belum secara spesifik mempertimbangkan aspek teknis manajerial pada penyelenggara pemilu serta bagaimana pengaruhnya bagi pemilih. Pilihan alternatif ini tidak menutup kemungkinan akan melahirkan kompleksitas baru sebagaimana pemilu sebelumnya, sehingga perlu dilakukan kajian secara mendalam terutama dampak pada aspek sistemik dan tata kelola pemilu.

Oleh: Abidin Mantoti

Polisi Hentikan Proses Salah Satu Kasus Di Sula

SULA – Kasus perbuatan tak menyenangkan dan pengancaman yang diduga dilakukan oleh Kepala ULP inisial RB yang ditangani Satreskrim Polres Kepulauan Sula dihentikan.

Kasat Reskrim Polres Kepulauan Sula, IPTU Rinaldi Anwar saat dikonfirmasi pun membenarkan informasi tersebut.

“Untuk kasus oknum Kepala ULP inisial RB tersebut penyelidikannya sudah dihentikan,” kata Kasat Reskrim Polres Kepulauan Sula, IPTU Rinaldi Anwar, Rabu (18/06/2025).

Baca juga: Kasus Kepala ULP Di Sula Bakal Digelar, IPDA Rizal: Semua Saksi Sudah Diperiksa

Ia menambahkan, hasil gelar perkara kasus oknum Kepala ULP inisial RB tak ditemukan unsur pidananya.

“Kasus tersebut sudah kita lakukan gelar perkara, hasil gelar perkara ialah tidak ditemukan nya unsur pidana di dalamnya,” tutupnya.

Pewarta: Setiawan Umamit

Redaktur: TIM