Kategori
Opini

Homo Economicus: Kesejahteraan Kantor Hakim

OPINI – Spesialisasi ilmu itu berkah, dan sekaligus peringatan akan keterbatasan nalar. Namun nalar memang punya kecenderungan menjadi pongah. Nalar tajam dan bisa mendalam, tetapi nalar juga mudah lupa batas dan mortalitas. Ini bukan sinis nalar, tapi perayaan atas batas ilmu.

Fakta: Ribuan Hakim Se-Indonesia Bakal Mogok Kerja, Protes Gaji dan Tunjangan 12 Tahun Tak Naik. Ini sebuah judul berita yang di kabarkan kompas.com pada 26 September 2024, 15:45 WIB. Fakta judul ini menarik penulis untuk telaah lebih dalam untuk mengetahui apa dibalik alasan adanya ribuan hakim bakal mogok kerja. Pertama; aturan mengenai gaji dan tunjangan jabatan hakim yang saat ini berlaku mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012. Kedua; Peratutran Pemerinntah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 didalilkan belum disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini karena ekonomi Indonesia terus mengalami inflasi year on year (yoy). Ketiga; gaji pokok jabatan hakim sama dengan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa, dan tunjangan jabatan hakim tidak berubah selama 12 tahun, mengakibatkan penghasilan jabatan hakim menurun drastis ketika pensiun padahal jabatan hakim lebih besar dibanding Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa.

Tata urutan itu menunjukan gaji dan tunjangan jabatan hakim tidak mencerminkan tanggung jawab dan beban kerja jabatan hakim sebagai penegak keadilan dalam tata pengadilan di Republik. Namun ketika di telaah lebih dalam ternyata yang menyebabkan alasan ribuan hakim bertindak karena kondisi ekonomi hakim. Untuk gaji dan tunjangan jabatan hakim sesuai kondisi ekonomi hakim atas tanggung jawab dan beban kerja jabatan hakim, revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.

Tulisan ini berfokus pada batasan homo economicus: atas kenaikan gaji dan tunjangan kantor hakim/jabatan hakim.

Homo Economicus

Melalui daya nalar yang selalu keruh, dengan mudah ditemukan kata Latin homo, yang berarti manusia/orang. Fisolog yang paling ahli pun mungkin tidak tahu tepat berapa ribu tahun silam kata Latin homo, itu mulai digunakan. Lalu kata Latin economicus disebut-sebut berasal dari kabut masa silam, meskipun cukup pasti turunan dari kata Yunani oikonomicus. Kata Yunani oikonomicus itu pernah dipakai filosof Yunani yang bernama Xenophon yang hidup sekitar tahun 430-354 SM, sebagai judul salah satu karya tulisnya, OIKONOMIKO∑. Kata oikonomicus di situ hanya berarti tata pengolahan ladang, dan menggarap ladang memang mata-pencaharian orang-orang biasa pada zaman itu di Yunani. Karya OIKONOMIKO∑ itu tertulis dalam format dialog Sokratik, berisi perbincangan imajiner antara Critobulus dan Sokrates. Di karya OIKONOMIKO∑ itu Sokrates terus kritis bertanya, sampai Critobulus mengerti dengan remang-remang bagaimana cara mengelola ladang agar menjadi sumberdaya yang memenuhi kebutuhan keluarga dan polis (Xenophon 1994). Mungkin dari remangremang itu dikenali akar pengertian ekonomi. Namun remang-remang itu tidak menerangi yang dimaksud homo economicus dalam akar pengertian ekonomi zaman ini. Tahun berganti abad, abad menggulung menjadi milenium.

Selanjutnya dalam lintasan sejarahnya orang pakai istilah homo economicus itu, peristiwa homo economicus seperti tinggal sebatang jarum yang terselip pada tumpukan jerami. Seorang yang bernama Joseph Scumpeter, raksasa sejarah pemikiran ekonomi, begitu sebutanya memberi isyarat bahwa homo economicus mungkin istilah yang diilhami ungkapan L’Economo prudente yang dipakai penulis Italia bernama B. Frigerio di tahun 1629 (Scumpeter 1954: 156). Akan tetapi, ilhami ungkapan itu juga lebih mungkin peranakkan makin banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Asal-muasal sejarah dan asal-usul logis adalah dua hal yang biasa berbeda.

Tapi sebenarnya homo economicus itu? Bagaimana homo economicus sebagai istilah yang berkembang dalam ilmu ekonomi? Sebelum itu, alkiasah, ungkapan homo economicus sering disebut berasal dari peletak dasar ilmu ekonomi modern yang bernama Adam Smith (1723-1790). Tetapi tidak satupun baris dalam halaman The Wealth of Nations (1776) karya Adam Smith menuliskan istilah itu. Ungkapan homo economicus juga rupanya disebut dari karya John Stuart Mill dalam Essays on Some Unsettled Questions of Political Economy (1844 [1836]). Tetapi tidak satupun esai dalam tulisan John Stuart Mill menuliskan istilah itu. Homo economicus juga biasa dikatakan baik oleh kaum terpelajar maupun awam, dalam perdebatan maupun gurauan. Tetapi bagaimana yang ditulis Adam Smith dan John Stuart Mill dalam karya besarnya itu;

“Bukan dari kebaikan hati pemotong daging, peramu minuman, atau tukang roti kita memperoleh makanan kita, tetapi dari rasa cinta diri mereka pada kepentingan diri mereka sendiri. Kita memenuhi kepentingan diri bukan dengan menggerakkkan rasa kemanusiaan mereka, tetapi rasa cinta-diri mereka; dan jangan pernah berbicara kepada mereka tentang kebutuhan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan diri mereka sendiri” (Smith 2000 [1776]: 15).

“Ekonomi-politik… tidak mengkaji seluruh kodrat manusia yang dimodifikasi oleh tata sosial, tidak juga membahas seluruh perilaku manusia dalam masyarakat. Ia berurusan dengan manusia semata-mata hanya jauh ia mahkluk yang berhasrat memiliki harta dan mampu menilai manjurnya sarana yang satu dibanding sarana lain dalam mengejar tujuan itu… [dengan] sepenuhnya menepiskan semua hasrat dan motif lain, kecuali… pengejaran kekayaan…” (Mill 1844 [1836]: 97).

John Stuart Mill tidak pernah menulis bahwa manusia hanyalah mahkluk “pengejar harta”. Mill sedang membatasi kajian ilmu ekonomi. Agar fokus kajian ilmu ekonomi tidak simpang-siur dan tumpang tindih, Mill juga batasi fokusnya pada pola tindakan manusia yang berbeda dari pola-pola tindakan yang menjadi fokus kajian ilmu hukum, sejarah, biologi atau sebagainya. Beginilah Mill menulis:

“Bukan karena ekonom-politik begitu tolol menganggap hakikat manusia sebagai benar-benar demikian [digerakkan hanya oleh nafsu mengejar harta], tapi karena itulah modus kinerja yang secara niscaya perlu ditempuh suatu ilmu… Mengenai perilaku-perilaku manusia di mana kekayaan bukan obyek pokoknya, Ekonomi-Politik tidak berlagak bahwa kajiannya dapat diterapkan. Namun memang ada urusan manusia di mana pencapaian kekayaan merupakan tujuan pokok dan diakui. Hanya dalam urusan inilah EkonomiPolitik menaruh perhatian. Cara yang perlu ditempuh Ekonomi-Politik adalah memperlakukan tujuan pokok itu seolah-olah sebagai satu-satunya tujuan… (Mill 1844 [1836]: 97, 98).

Tidak ada yang ganjil dengan yang ditulis Mill di atas. Rupanya arti oikonomicus sebagai “tata pengelolaan ladang bagi sumber penghidupan keluarga” dalam karya Xenophon hampir dua ribuh tahun berubah menjadi oconomicus dalam arti “tata kelola dan hasrat memiliki harta”. Terhadap rumusan itulah penulis John K. Ingram, misalnya, kritik pada tahun 1888 bahwa apa yang diajukan Mill “tidak menyangkut manusia-manusia riil tapi imajiner – ‘manusia-manusia ekonomi’… yang digagas hanya sebagai binatang-binatang pengejar uang” (dikutip dalam Persky 1995: 222).

Ketika istilah ekonomi-politik (political-economy) menciut menjadi ekonomika (economics) di akhir abad ke-19, dan dalam keruh perdebatan tentang gambaran kodrat manusia, ungkapan manusia ekonomi (economic man) rupanya dipakai raksasa ilmu ekonomi yang bernama Alferd Marshall, memakai istilah economic man dalam karyanya, Principles of Economics, yang terbit tahun 1890 (Marshall 1972 [1890]: 22).2 Homo economicus juga muncul dalam buku Vilfredo Pareto, pemikir Italia, Manuale di economia politica (1906).

Dalam arti tertentu, Mill hanya lebih lanjut menggarap pengertian implisit ekonomi yang diisyaratkan Adam Smith 60 tahun sebelumnya. Begini rupanya jejak kisahnya. Apa yang ditulis Mill di atas jelas menunjukan Mill tidak pernah berpendapat bahwa hakikat manusia adalah mahkluk yang digerakkan hanya oleh pengejaran harta. Namun dari situ pula benih salah-kaprah berkembang menjadi embrio kesesatan. Pada Adam Smith dalam suasana perdagangan yang penuh monopoli, dan di bawah pengaruh pola revolusi ilmu alam yang dibawa-serta oleh pemikiran Isaac Newton (bdk. Hetherington 1983). Smith mencari-cari cara menjelaskan kemakmuran bangsa-bangsa. Smith, juga mengajukan bagaimana masyarakat terbentuk dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Namun dalam urusan kemakmuran material, Smith memberi tekanan pada pentingnya perdagangan bebas antar orang-orang biasa. Kemakmuran tidak ditempuh dengan cara merampas secara paksa, tidak juga dengan mengemis atau beramal, tapi melalui pertukaran dan perdagangan yang menghasilkan dinamika akumulasi kekayaan. Rupanya Smith tidak menulis homo economicus, tapi pertukaran, perdagangan bebas dan akumalasi kekayaan yang penuh monopoli.

Bagaimana masyarakat terbentuk dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Seperti nelayan menangkap ikan, nelayan tentu tidak dapat hidup hanya dengan ikan. Nelayan butuh beras dari petani, pakaian dari penjahit, obat dari dokter, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya tanpa paksaan. Dari situ tercipta berlaksa-laksa pertukaran. Maka setiap manusia/orang kemudianpunya insentif untuk menumpuk barang/jasa yang dapat dipertukarkan. Syaratnya adalah barang yang dipertukarkan sebagai komoditas – artinya sesuatu untuk dijual-belikan. Lalu uang menjadi alat perantara jual-beli. Itu praktis, tapi tidak mengubah pola dasar jual-beli komoditas. Bahkan secara cepat uang dijadikan komoditas, persis seperti barang/jasa lain. Artinya fungsiasal uang kehilangan tujuanya. Silahkan ke bank meminjam uang, maka suka tidak suka diwajibkan untuk Anda membayar bunga pinjaman 10 atau 20 persen. Masing-masing pihak masuk dalam kepentingan diri (self-interest). Adam Smith menyebut dinamika emosional “saling masuk” dalam kepentingan orang lain itu sebagai simpati (sympaty) (Smith 2002 [1759]: 11).

Namun dari situ juga menjadi jelas bahwa self-interest (kepentingan diri) samasekali bukan satu organ tertutup di tengah samudra ketiadaan yang lain, tetapi beroperasi dalam jaring kepentingan-kepentingan lain. Tanpa “masuk” ke dalam kepentingan-diri orang lain, kepentingan diri sendiri tidak akan terpenuhi. Self-interest hanyalah istilah dengan arti mulia ini punya sejarah yang panjang dan pelik, bahkan para filosof Stoa bahas dua milenial lalu.Rupanya Smith mempelajari itu, dan memakainya untuk melukiskan dinamika perdagangan. Seperti dalam kutipan Smith di atas (Smith 2000 [1776]: 15). Ladang Xenophon yang melandasi istilah oikonomikos telah gusur hiruk-pikuk sejarah abad ke-18 dan abad ke-19, yang sibuk mengemban kelanjutan revolusi ilmiah, kemunculan kaum borjuis dan kapitalisme. Tak satupun noktah menunjukan Adam Smith pernah menulis dalam karyanya tentang manusia sebagai mahkluk yang digerakkan olek kepentingan-diri (self-interest). Bahkan Smith tidak berbicara mengenai kodrat manusia dalam karya besarnya The Wealth of Nations. Tetapi Smith berbicara mengenai perdagangan bebas sebagai jalan menuju kemakmuran bangsa.

Tapi tindakan berdagang tidak dilakukan oleh benda tidak bergerak (batu/benda mati), melainkan oleh manusia. Di sini Smith berhadapan dengan teka-teki: siapakah manusia dalam perdagangan? Istilah kapitalisme juga tidak ada dalam barisan karya besarnya Adam Smith The Wealth of Nations. Istilah kapilisme awal muncul pertama kali dalam karya besarnya Karl Max Das Caoital, sebagai kritik karya besarnya Adam Smith The Wealth of Nations. Atau syarat antropologis apa supaya perdagangan menjadi mungkin dan berkembang?… Tata urutan terbentuk masyarakat dari karya Adam Smith di atas, juga tidak jauh beda dengan tata urutan terbentuk masyarakat yang ditulis Ibnu Khaldun dalam karya besarnya Muqadimah. Tetapi lebih beradab yang tulis Ibnu Khaldun dalam karya besarnya itu. Ibnu Khaldun tentu bukan penganut antropologis.

Sejak abad ke-14 sampai abad ke-19, para cerdik pandai di barat sibuk dengan pertanyaan tentang hakikat/kodrat manusia, tentang siapa sebenarnya manusia. Sebabnya para cerdik pandai di barat mesti menjelaskan perilaku manusia, dalam peristiwa perang maupun damai, dalam peristiwa perdagangan atau ketertundukan. Dalam bayang-bayang perang di Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) menulis teori politik dalam buku Leviathan (1651), dengan meletakkan bahwa kodrat manusia dalam kondisi asali adalah “serigala bagi sesamanya” (homo homini lupus) (Hobbes 1968 [1651]). Tentang eksistensi (tindakan/kegiatan riil manusia) yang ditulis oleh Thomas Hobbes, memunculkan pertanyaan tentang esensi (hakikat/kodrat manusia). Antropologis menemukan labirin gelap atas hakikat/kodrat manusia.

Seperti Anda menyaksikan di depan mata kepala Anda beberapa perampok dewasa membunuh anak-anak kecil. Melihat itu, denyut jantung Anda seperti berhenti, lalu bertanya dalam hati: siapa sesungguhnya hakikat manusia, hingga dengan keji perampok dewasa membunuh anak-anak kecil? Anda seperti menyimpulkan sendiri: hakikat manusia adalah mahkluk pembunuh. Atau suatu hari Anda menyaksikan suami-istri bertengkar kemudian berpisah. Namun suatu hari juga Anda menyaksikan suami-istri bertemu meminta maaf dan saling kembali. Anda terpana, lalu sebuah air sungai seperti mengalir di lorong jiwa-raga, hingga Anda bertanya pada diri Anda: siapakah hakikat manusia sehingga suami-istri mampu mengampuni? Lalu Anda menjawab sendiri bahwa hakikat manusia adalah mahkluk belas-kasih. Cuma, hanya dengan itu Anda menarik kesimpulan bahwa keseluruhan hakikat manusia adalah mahkluk pembunuh atau mahkluk belas-kasih, Anda tersesat.

Mirip seperti itulah teka-teki antropologis yang memburu Adam Smith. Dalam perdagangan yang tumbuh sangat pesat pada waktu itu. Rupanya Smith berimajinasi dengan pengandaian begini: andai saja orang-orang biasa bebas melakukan perdagangan! Smith bahkan punya istilah untuk orang-orang biasa, yaitu “pemotong daging, peramu minuman, dan tukang roti”. Istilah itu bertaburan dari awal sampai akhir dalam karya besarnya itu. Orang-orang biasa, itu adalah pahlawan Smith dalam merumus teori moral dan ekonomi-nya.

Terhadap teka-teki itu Smith menyimpulkan begini: perdagangan dan industri akan maju pesat apabila dalam kinerja perdagangan dan industri manusia bergerak atas dasar kepentingan-diri. Pokok inilah yang lalu diplintir ke sana ke mari untuk apa saja yang bahkan berkebalikan degan garis pemikiran Smith. Cukup menunjukan Smith tidak pernah menulis bahkan hakikat manusia adalah kepentingan-diri. Dengan kata lain, gagasan “manusia digerakkan oleh kepentingan diri” adalah persyarat antropologis yang diandaikan Smith agar metodologis Smith mampu menjelaskan gejala perdagangan bebas dalam kehidupan ekonomi. Dari situ juga muncul postulat ekonomi dalam proses berpikir. Disadari, itu hanya langkah biasa dalam proses berpikir. Tentu saja, keseluruhan hidup manusia, tidak hanya digerakkan oleh kepentingan-diri (self-interest). Tetapi dari situ juga bermula yang awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia kemudian berubah menjadi klaim tentang keseluruhan hakikat/kodrat manusia.

Sehingga tulisan ini sampai pada kerancuan yang terlibat dalam gagasan homo economicus: apa yang awalnya hanya sudut pandang tertentu tentang manusia, kemudian diperlakukan sebagai keseluruhan hakikat/kodrat manusia dan agenda bagaimana manusia dan masyarakat seharusnya menjadi. Rupanya terjadi pemahaman keruh jejak homo economicus. Pada 9 Maret 1976, dalam peringatan 200 tahun buku The Wealth of Nations karya Adam Smith, Ronald Coase, penerima Nobel Ekonomi 1991, merumuskan dengan tetap apa yang sudah terjadi: “…ilmu ekonomi selama dua ratus tahun terakhir tidak lebih dari mengepel, …para ekonom hanya mengisi celah, mengoreksi kekurangtepatan, dan mempercantik analisis The Wealth of Nations” (Coase 1994: 74).

Kesejahteraan Kantor Hakim

Benarkah kenaikan gaji dan tunjangan jabatan hakim akan berdampak pada terjaganya kualitas keadilan dalam tata peradilan di Republik. Apapun istilahnya, gaji dan tunjangan pada hakikatnya bentuk harga pada tata nilai uang itu sendiri. Maka, ukuran harga (price) terhadap kenaikan gaji dan tunjungan untuk kesejahteraan kantor hakim/jabatan hakim pada tata peradilan, seperti penyimpangan tanggung jawab dan kinerja jabatan hakim tegakkan kualitas keadilan dalam tata peradilan di Republik, dengan bersikap mogok kerja. Kenapa seperti penyimpangan? Karena berdasarkan fakta di atas: gaji dan tunjangan kantor hakim/jabatan hakim belum disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini karena ekonomi Indonesia terus mengalami inflasi year on year (yoy). Inflasi adalah perpajakan tanpa undang-undang (Milton Friedman (1912 [2006]).

Perangkat utama homo economicus dalam mengejar kepnetingan-diri (self-interest) dan pemenuhan hasrtanya adalah kalkulus rasional. Istilah ‘rasional’ mungkin menakutkan. Namun yang dimaksud rasional dalam homo economicus hanya usaha menimbang prospek keuntungan, kerugian, dan tingkat kepuasan hasrat. Maka rasionalitas homo economicus berisi pilihan sarana paling jitu untuk mencapai tujuan tertentu. Rasional identik dengan prinsip efisien. Soal tujuan yang dikejar “baik” atau “buruk” tidaklah relevan untuk homo economicus. Jadi, rasionalitas hanya menyangkut sarana, bukan tujuan. Cuma, tunggu dulu! Karena sesungguhnya tiada yang khas economicus di sini, sebab cara seperti itu tidak lebih dari langkah biasa dalam semua tindakan bermutu, entah itu tindakan berdagang atau berdoa, belajar ataupun bersenggama (bdk. Polanyi 1977: 26).

Kepentingan-diri dalam homo economicus tidak lagi dalam pengertian self-interest, tapi lebih mendekati arti selfishness (Sen 1977: 317). Ciri keterpusatan pada diri (self-centredness). Artinya, arus perilaku homo economicus berfokus hanya pada konsekuensi tindakan bagi dirinya sendiri (Sen 2002: 80). Diri tidak hanya menunjuk pada pelaku tindakan (yaitu individu), tetapi juga diri sebagai satu-satunya pihak yang paling tahu “kebenaran” hasratnya. Maka baiklah diingat pokok dari John Stuart Mill bahwa ciri economicus terletak dalam aspek tindakan yang terkait dengan “hasrat memiliki kekayaan”, dan bukan dengan segi peraturan tindakan (seperti dalam ilmu hukum), yakni mahkluk aturan. Tapi apa yang dimaksud kepentingan-diri bukan lagi dalam arti klasik, yaitu kepeduliaan terhadap kesejahteraan diri serta lingkungan orang-orang terdekat yang kesejahteraanya terkait pada masyarakat yang hidup dalam wilayah yang sama dengan tindakan individu. Isi hasrat diketahui melalui apa yang dipilihnya – inilah yang disebut revealed preference. Tentu ini logika curang, tetapi homo economicus tidak terlalu peduli dengan logika.

Arti ‘kepentingan-diri’ yang selama ribuan tahun sebelumnya mencangkup kepedulian pada kehormatan, martabat, dan bahkan hidup sesudah kematian, dalam ciri homo economicus mengalami penciutan ke dalam urusan keuntungan material/finansial/uang. Lalu terjadi penciutan lanjut. Karena hasrat dan kepentingan-diri tidak mungkin diukur langsung, homo economicus mengukur dengan harga (price) yang bersedia dibayar bagi pemenuhan hasrat (Robinson 1962: 48-49). Tak ada ukuran nyata yang lebih dapat diterima homo economicus daripada harga (price). Dengan itu juga segera terjadi kolonisasi. Karena obyek hasrat yang menjadi isi kepentingan-diri manusia tidak terbatas hanya pada soal kekayaan, homo economicus menuntut bukan harta yang dikenai harga, tetapi juga berbagai obyek hasrat lain: dari seks sampai kegembiraan, dari keadilan sampai terapi, dari udara sehat sampai karya seni (bdk. Hirshleifer 1985: 53; Fine 1999: 415). Di situlah tertanam benih kolonisasi oleh homo economicus yang mengambil rupa komersialisasi berbagai bidang kehidupan.

Bagi homo economicus, kemampuan membayar harga (daya-beli) adaalah kunci yang mengantarkan obyek hasrat yang menjadi isi kepentingan-diri ke seluruh isi bidang kehidupan. Tapi homo economicus hanya bisa punya daya-beli jika mampu menumpuk pundi-pundi dengan menjual-belikan apa saja yang dapat dikenai harga. Dengan itu tercipta syarat kelangkaan (scarcity), bagian pengertian sentral ‘ekonomi’. Inilah yang disebut postulat kelangkaan (scarcity postulate) (Polanyi 1957: 246). Inilah bentuk homo econimucus yang sering disalahpahami orang-orang yang mengaku diri sebagai terpelajar dan sering fanatik dengan keyakinan bahwa homo econimucus mendasari semua perilaku manusia dan akan menjadi solusi bagi penataan Indonesia mesti menjadi. Itulah gejala self-fulfilling prophecy.

Semakin percaya dan menghayati ciri-ciri homo econimucus, semakin homo econimucus akan tercipta dalam diri manusia. Ketika tercipta dalam diri manusia menjadi kawanan hewan, homines economici bahkan tidak punya tujuan pasti selain terus-menerus melakukan pembenaran diri. Tempatkan keadilan pada hak asasi (human rights), bukan pada daya-beli. Untuk tata peradilan di Republik tidak menganut prinsip keramat “pembayar tertinggi adalah pemenang”. Tapi karena ada keadilan dalam hak asasi (human rights). Bagi manusia yang ingin memperoleh jabatan hakim jangan sekali-kali mencari kekayaan atas nama hukum, karena gaji dan tunjangan jabatan hakim telah diatur oleh pemerintah, dan hakim juga mempunyai sumpah jabatan yang murni untuk mengabdi kepada masyarakat demi terciptanya sebuah negara.masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan pembukaan UUD 1945.

Dengan itu, perkenankan tulisan ini mengajukan argumen: kualitas keadilan pada tata pengadilan tidak tercipta dari hasil asumsi homo economicus bagi penataan Indonesia mesti menjadi. Mahkluk ekonomi yang melahirkan ilmu ekonomi, tetapi ilmu ekonomi yang menciptakan mahkluk ekonomi: mahkluk aturan di bidangan kesejahteraan ekonomi pada kantor hakim/jabatan hakim. Di sini sebaiknya tulisan ini berhenti, “perayaan atas batas ilmu”.

Sumber Relevan

Bahan Extension Course Filsafat dan Budaya dengan tema “Filsafat Uang”, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 5 Juni 2015

B. Herry Priyono, 2017 Homo Economicus

Bab II buku itu, ketika menjelaskan lingkup studi ilmu ekonomi, Marshall menulis begini: “In all this, they deal with man as he is, not with an abstract or economic man” (Marshall 1982 [1890]: 22).

Hirshleifer, Jack (1985) ‘The Expanding Domain of Economics’, American Economic Review, Vol. 75, No. 6, Desember, pp. 53-68.

Hont, Istvan (2010) Jealousy of Trade: International Competition and the Nation-State in Historical Perpective, Cambrige University Press.

Kompas.com, 2024 ribuan-hakim-bakal-mogok-kerja-protes-gaji-dan-tunjangan-12-tahun-tak-naik

Lihat buku Adam Smith, (1759 sampai 1776) The Theory of Moral Sentiments sampai The Wealth of Nations, karya Smith yang menjadi peletak dasar ilmu ekonomi modern di eropa.

Penggalian asal-usul istilah homo economicus, Edward O’Boyle menemukan pemakaian istilah homo economicus dalam karya Maffeo Panteleoni, Principii di Economia Pura (1889). Tetapi juga ditemukan indikasi kuat bahwa istilah itu telah digunakan sebelumnya dalam beberapa literatur ekonomi berbahasa Jerman di paro abad ke-19 (O’Boyle 2010: 2).

Polanyi, Karl (1997) The Livelihood of Man (ed. H. W. Pearson), New York: Academic Press.

Polanyi, Karl; Arensberg, C.; Pearson, H. (eds.) (1957) Trade and Market in the Early Empires: Economies in History and Theory, New York: The Free Press.

Robinson, Joan (1962) Economic Philosophy, London: Penguin.

Rogers, Kelly (ed.) (1997) Self-Interset: An Anthology of Philosophical Perspevtives, London: Routledge.

Sen, Amartya (1977) ‘Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundation of Economic Theory’, Philosophy and Public Affairs, Vol. 6, No. 4, pp. 217-344.

Sen, Amartya (2002) Rationality and Freedom, Cambridge, MA: Harvard University Press.

Schumpeter, Joseph A. (1954), History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press.

Oleh: Rifaldi Ciusnoyo(Mahasiswa Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Kendari).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *